Pendidikan
Sastra: Pengembagan Wawasan Guru
Oleh Hermawan
Sastra adalah penjelmaan keindahan melalui medium bahasa dan
mengutarakan pesan verbal bagi khalayak pembacanya. Kesannggupan untuk
menemukan matra keindahan itu tentunya dipengaruhi oleh pengenalan bahasa dan
terlebih lagi oleh penguasaan berbahasa. Mengenal bahasa tidak dengan
sendirinya berarti menguasainya sebagai medium ekspresi yang cukup meleluasakan
pilihan gaya
bagi penggunanya. Begitu pula cukupnya pengetahuan tentang tatabahasa dan
kekayaan kosakata semata-mata belum menjadi jaminan bagi pemahaman sastra,
apalagi untuk menangkap dan menghayati nilai estetik yang terpantul melalui
verbalisasi.
Pengenalan dan penguasaan bahasa sebagai medium komunikasi memang
menjadi dasar untuk selanjutnya dikembangkan sebagai kesanggupan memahami
sastra, namun tidak pada sendirinya merupakan sehimpunan anasir yang siap untuk
menikmati karya sastra sebagai perwujudan estetika melalui medium bahasa; untuk
tujuan ini diperlukan kecanggihan yang berbentuk melalui pembekalan sepanjang
berlangsungnya proses didaktik dan otodidak.
Pendidikan adalah proses yang menyertai perkembangan manusia
sepanjang hayatnya, ia bukan saja mampu melancarkan ikhtiar untuk mendidik,
namun juga diterpa olehg banyak faktor yang mempengaruhi pendidikan dirinya sendiri. Manusia adalah animal
educandum dan animal educandus sekaligus, proses didik-mendidik ini berlangsung
terus menerus serta turun temurun. Melalui proses pendidikan ini
berlanngsunglah evolusi manusia sebagai makhluk berprilaku yang dalam
kelanjutannya menjelma sebagai umat yang bermatra peradaban dan kebudayaan.
Bagaimana kita meninjau pertautan antara sastra dan pendidikan.
Apakah masalahnya berkenan dengan pengajaran sastra melalui berbagai jenjang
pendidikan sekaolah; ataukah sastra bisa berperan sebagai sarana untuk
menimbulkan dampak didikan, dan erat kaitannya dengan pertanyaan itu,
mungkinkah sastra berfungsi sebagai sumberdaya yang bisa mempercanggih wawasan
guna memahami perilaku dan kondisi manusiawi. Pertanyaan tersebut dapat
dirumuskan sebagai berikut, sejauh mana sastra punya nilai pedagogik dan fungsi
didaktik yang berdampak positif bagi perkembangan pribadi?
Perihal pengajaran sastra melalui pendidikan sekolah sudah banyak
diperbincangkan dalam berbagai forum media, yang sering diutarakan ialah
persoalan sekitar kurangnya porsi kurikuler bagi pengenalan dan pemahaman
sastra sebagai bagian dari keseluruhan
acara pelajaran bahasa. Segi lain yang nampaknya menjadi sorotan ialah
kesangguapan guru bahasa untuk menyajikan materi pelajaran sastra melalui
metodik yang efektif dan pendekatan yang sesuai asas didaktik. Kedua kendala
tersebut tidak begitu mudah dapat diatasi, mengingat keseluruhan beban
kurikuler di sekolah terbagi dalam porsi yang terbatas untuk berbagai mata
pelajaran dan disesuaikan dengan tuntutan guna memenuhi tujuan pendidikan pada
suatu jenjang pendidikan.
Pendidikan sastra adalah pendidikan yang kreatif. Sastrawan adalah
penulis kreatif. Persoalannya, kenapa di masa lalu pendidikan sastra tak dapat
maju? Barangkali karena saat itu tidak begitu diperlukan orang-orang kreatif.
Ini disebabkan pola pembinaan di masa itu adalah pola militan dan komando. Bila
ada orang yang kreatif, maka sistem komando atau militan itu tidak bisa
berjalan. Kenapa sewaktu di taman kanak-kanak ada belajar seni? Ini disebabkan
sewaktu kecil anak-anak perlu kreativitas. Kita dapat menyaksikan di taman
kanak-kanak atau prasekolah itu yang perytama diajarkan adalah seni menggambar,
menyani, bercerita, bermain, menyusun, dan lain-lain. Akan tetapi, setelah
mulai tumbuk maka kreativitas itu mulai dikurangi dengan jalan hafalan. Sistem
pendidikan yang diperlukan cenderung upaya untuk memenuhi NEM pada Ebtanas.
Kreativitas tidak saja diperlukan oleh murid, melainkan juga oleh
guru dan didukung prasarananya yang memadai. Bila guru tidak kreatif dan
prasarananya tidak memadai untuk menciptakan lingkungan kreatif, maka hasilnya
tentu saja tidak memuaskan. Kreativitas guru bukan dituntut begitu saja, tetapi
faktor penunjang kreativitas guru itu pun perlu diperhatikan. Bila dulu guru
dihadapkan dengan GBPP yang terkomando maka sekarang tidak lagi demikian.
Rasanya tidak perlu lagi segala sesuatu itu dalam bentuk sama atau seragam.
Bukankah semboyan di kaki burung garuda adalah Bhinneka Tunggal Ika.
Keberagaman menjadi satu. Inilah yang terjadi selama ini. Bila di suatu sekolah
atau daerah, misalnya, ditentukan sebagai buku wajib untuk sebuah novel adalah
Siti Nurbaya atau puisi adalah sajak Aku, maka daerah lain juga diwajibkan
begitu. Padahal tidak harus demikian. Akibatnya semua siswa di nusantara ini
hanya dikenal dengan Marah Rusli dan Chairil Anwar saja.
Kalau seperti ini halnya maka akan janggal bila seorang anak bertemu
puisi atau karya sastra lainnya yang berbeda isi dan bentuk. Misalnya sajak Aku
dalam bentuk lain berjudul Semangat. Cerita Malin Kundang misalnya ada beberapa
bentuk. Bila dahulu kita kenal cerita Malin Kundang dinyatakan kedurhakaan anak
terhadap ibu, maka dalam bentuk lain A. A. Navis cerita Malin Kundang itu
dinyatakan ibunya yang durhaka. Menurut Wisran Hadi, Malin Kundang tidak
durhaka tetapi tukang rebab (penceritalah) yang menyelesaikan cerita jadi lain.
Bila Malin Kundang itu menurut cerita lama menjadi batu, menurut Umar Junus
menjadi pohon pisang. Mungkin lain lagi menurut versi-versi lain.
Bila kejadian seperti demikian, maka tentulah guru akan sulit
menerangkan atau meyakinkan siswa akan kebenaran cerita Malin Kundang yang
dahulu itu. Hal-hal seperti ini diperlukan kejelian guru dengan memperkaya
bacaan-bacaan tambahan. Dalam proses kreativitas penulis atau sastrawan tidak
saja lagi berdasarkan kehidupan dirinya sendiri atau realitanya sendiri, tetapi
bisa saja berdasarkan pengalaman orang lain. Misalnya novel Saman karya Ayu
Utami yang sangat laris dan terkenal itu. Dalam wawancara beberapa waktu yang
lalu, Ayu Utami menjelaskan bahwa sebenarnya ia belum pernah hidup di palembang, namun ia bisa
bercerita banyak tentang palembang.
Hanya sekali saja ia datang ke anjungan minyak lepas pantai, namun hasik
tulisannya mengesankan ia telah bertahun-tahun di sana. Bagitu juga dengan cerita bersambung
berjudul; Si Bungsu karya Makmur Hendrik yang mengisahkan tentang kehidupan
rezim Yakuza di Jepang. Padahal Makmur Hendrik menginjak Jepang setelah novel
itu selesai. Begiutu juga dengan cerita-cerita silat Ko Ping Hoo, penulis
cerita silat yang terkenal itu.
Kreativitas perlu pula didukung oleh prasarana, diantaranya
perpustakaan. Buku-buku yang ada hendaknya sesuaid engan kebutuhan kreativutas
siswa. Sebentar lagi semua perpustakaan memerlukan internet. Sebentar lagi
orang bertutur bisa dibaca melalui layar kaca.
Kita perlu memikirkan ini untuk antisipasi ke depan. Mampukah para
guru berbuat demikian? Di sinilah diperlukan ideologi keguruan seseorang.
Bicara mengenai ideologi guru saat ini sangat kurang sekali. Banyak guru
mengiginkan kenaikan kesejahteraan atau gajinya. Itu merupakan keinginan yang
wajar. Akan tetapi, bila gaji dan kesejahteraan guru itu dinaikkan, belumlah
jaminan seorang guru akan menjadi lebih baik (baca kreatif) kalau ideologi
keguruannya kurang.
Peran karya sastra sangat banyak yang perlu disampaikan kepada
siswa. Sastra bukan saja unti, dibaca dan dinikmati sebagai tugas belajar,
tetapi memegang peran yang lebih luas lagi. Karya sastra dapat saja sebagai
sarana peneguhan struktur sosial masyarakat, seperti Cindur Mato dan Sejarah
Melayu (karya masterpiece dalam khazanah sastra Minangkabau dan Melayu yang
diciptakan dalam rangka peneguhan struktur sosial pada waktu itu. Raja yang
diakui sebagai pemimpin masyarakat itu adalah pemegang kekuasaan tertinggi.
Kebesaran negara didukung oleh citra rajanya yang berkekuasaan tinggi. Sebagai
penguasa tertinggi, kekuasaannya dibatasi oleh kemahakuasaannya Tuhan. Raja
harus “adil pada memeliharakan rakyat”, “bijaksana”, “baik barang lakunya”, dan
tidak memiliki ceala. Raja yang menghukum rakyat dengan tiada salah, hancurlah
negaranya. Terhadap raja yang idaman yang berdaulat itu, rakyat pun tidak boleh
durhaka. Kedurhakaan rakyat akan membawa malapetaka bagi masyarakat dan negara.
Pranata sosial demikian dapat hidup terus dari generasi ke generasi.
Karya sastra juga sebagai cerminan gejala yang muncul dalam
masyarakat dan cendrung memperlihatkan tragedi sosial ditujukan oleh kondisi
masyarakat yang maikn cenderung memperlihatkan tingkat kepadatan penduduk yanng
tinggi, semakin sulitnya mendapatkan lahan untuk bekerja, kesenjangan sosial
yang makin melebar, birokrasi yang terlihat kencang meningkatkan
langkah-langkah kerja, kerja yang tidak efisien berhamburan sia-sia,juga oleh
kelaparan yang muncul di berbagai belahan bumi Indonesia. Terlihat dalam sajak
Taufiq Ismail dengan judul Kembalikan Indonesia Padaku.
Karya sastra dapat merubah citra suatu masyarakat. Hal ini dapat
dilihat berubahnya kehidupan masyarakat yang dahulunya lebih suka mengawinkan
anak perempuan berdasarkan kehedak orang tua, namun setelah adanya novel Siti
Nurbaya yang menjadi pameo masyarakat menjadi perempuan muda tidak mau saja
lagi dijodohkan oleh orang tua. Banyaknya lelaki yang poligami sehingga tidak
tahu lagi anak seayah menikah. Hal ini dilukiskan oleh A. A. Navis lewat cerpen
Datangnya dan perginya yang kemudian dikembangkan menjadi novel Kemarau. Begitu
juga dengan novel Chairul Harus yang dapat merubah sikap orang Pariaman suka
bersuami banyak atau kawin dengan janda. Perubahan sikap para kiai yang selalu
memikirkan sorgawi saja daripada duniawi telah dapat tersadarkan melalui cerpen
Robohnya Surau Kami karya A. A. A. Navis. Emha Ainun Najib dengan karyanya
Slilit Sang Kiai telah dapat menggerakkan hati sekelompok mahasiswa dan
bertindak lebih hati-hati terhadap harta milik orang lain.
Karya sastra dapat juga dilihat secara intertekstual, di mana dalam
karya itu akan ada teks atau karya lainnya. Naskah cerita Puti Bungsu katya
Wisran Hadi akan mengingatkan kita terhadap cerita Malin Kundang dan kompleks
cerita malin deman.
Dalam karya sastra dapat juga dilihat unsur tidak cerita dan cerita.
Misalnya banyak orang menyangkutkan kisah Siti Nurbaya itu memang kejadian
sebenarnya karena di dalam novel tersebut ada tempat-tempat yanng memang ada
seperti puncak bukit gado-gado tempat bermain ayunan Siti Nurbaya serta
kuburannya. Pad cerita-cerita klasik atau tradisional juga demikian. Kebanyakan
orang setelah mendengar kaba Minangkabau merasa yakin betul bahwa cerita itu
seakan-akan benar terjadi. Cerita adu kerbau di Minangkabau dianggap cerita
yang sebenarnya, sehingga kata Minangkabau berarti menang kerbau. Cerita Malin
Kundang juga demikian karena di tempat kejadian dalam cerita itu memang ada batu
yang mirip kapal dan dermaga. Malahan sekarang relief cerita Mmalin Kundang itu
dibuat sesuai dengan yang sebenarnya.
Akhirnya karya sastra mempunyai peran fungsional dalam masyarakat
antara lain memberikan hiburan, ketenangan batin, peredam kemarahan, melembutkan
hati yang keras, sarana pembangkit dan pengibar semangat juang, menjadi sarana
pengajaran yang efektif, sarana penegak tata sosial, pemveri informasi tentang
pelajaran moral dan agama, serta pemberi
infromasi tentang berita sejarah dapat dilihat dari berbagai sudut dan segi.
Karya sastra tidak dapat dimaknai untuk sekali baca saja. Bahkan setiap kali
kita baca akan muncul persepsi dan makna yang baru.
Daftar Pustaka
A. A. Navis. 1990. Bianglala
Kumpulan Cerpen. Jakarta:
Pustakakarya Grafikatama
Fuad Hasan. 1993. Catatan
Perihal Sastra dan Pendidikan. Makalah seminar
Internasional
Sastra, Film, dan pendidikan fakultas sastra Universitas Indonesia.
Siti Chammamah Soeratno. 1994. Sastra
dalam Wawasan Pragmatis Tinjauan atas Azas
Relevansi di dalam
Pembangunan Bangsa. Pidato pengukuhan jabatan guru
besar pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Umar Junus. 1993. Dongeng tentang Cerita. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka
Kementerian Pendidikan Malaysia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar