Malin Kundang dari Masa ke Masa
Oleh Drs. Hermawan, M. Hum.

Di nusantara tema-tema anak durhaka memang banyak namun disampaikan dengan versi cerita yang berbeda seperti Amat Rhang Manyang dari Nangro Aceh Darussalam; Sampuraga, Si Kantan, dan Asal Mula Pulau Si Kantan dari dari Sumatera Utara; Si Lancang, Tokong Si Culan dari Riau; Malin Kundang dari Sumatera Barat; Pulau Lancang Gadung dari Jambi; Batu Nanges dan Dampu Awang dari Sumatera Selatan; Si Linggi dari Kalimantan Barat; Batu Banana dari Kalimantan Tengah; Anak Durhaka, dan Dampu Awang dari Kalimantan Timur; Radin Pengantin, Si Angui, dan Nini Kudampai dari Kalimantan Selatan; dan Nakhoda Bincit dari Malaysia. 

Ada banyak cerita Malin Kundang (MK). Masing-masing cerita itu tumbuh dan berkembang. Bermula dari cerita rakyat yang berkembang dari mulut-telinga-mulut, kemudian dibukukan. Selanjutnya muncul MK dalam bentuk kreatifitas lain seperti puisi, cerpen, film, sinetron, dan esai. Semua cerita itu tetap saja tentang kedurhakaan, akan tetapi tidak saja durhaka antara anak dan ibu, namun juga kedurhakaan ibu kepada anak, dan pengarang kepada pembaca. Malin Kundang susunan Syamsuddin Udin (bertolak dari dendang rebab), Malin Kundang, Ibunya Durhaka cerpen A. A. Navis; Malinkundang, Malinkundangkah Engkau? Puisi Hamid Jabbar; Malin Kundang naskah drama Wisrann Hadi; Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang karya Goenawan Mohammad; Liem Khoon Doang karya Wisran Hadi; Malin Kundang Menantang Mitosnya karya Umar Junus; Malin Kundang Millenium karya Alwi Karmena; Malin Kundang sinetron SCTV; dan Malin Kundang 2000 karya Budiar Putra.

Apa dan mengapa Malin Kundang hadir dalam kehidupan dan kebudayaan kita. Kita bisa lihat dari sisi apa saja, tanggung jawab, kewajiban, adat, agama, politik dan keadaan. Inilah sebuah kajian awal tentang Malin Kundang dari masa ke masa. Malin Kundang memang anak durhaka, tetapi apakah kedurhakaan itu timbul oleh Malin Kundang semata, bagaimana dengan keadaan, adat, agama, ekonomi, dan budaya yang ada pada waktu Malin Kundang itu ada. Malin Kundang ada di berbagai daerah di Indonesia (nusantara) ini. Untuk itu perlu suatu kajian sebagai penelusuran budaya dan bentuk lainnya. Apakah ini cognitive cultural?

Sastra adalah penjelmaan keindahan melalui medium bahasa dan mengutarakan pesan verbal bagi khalayak pembacanya. Kesanggupan untuk menemukan matra keindahan itu tentunya dipengaruhi oleh pengenalan bahasa dan terlebih lagi oleh penguasaan berbahasa. Mengenal bahasa tidak dengan sendirinya berarti menguasainya sebagai medium ekspresi yang cukup meleluasakan pilihan gaya bagi penggunanya. Begitu pula cukupnya pengetahuan tentang tatabahasa dan kekayaan kosakata semata-mata belum menjadi jaminan bagi pemahaman sastra, apalagi untuk menangkap dan menghayati nilai estetik yang terpantul melalui verbalisasi.
Pengenalan dan penguasaan bahasa sebagai medium komunikasi memang menjadi dasar untuk selanjutnya dikembangkan sebagai kesanggupan memahami sastra, namun tidak pada sendirinya merupakan sehimpunan anasir yang siap untuk menikmati karya sastra sebagai perwujudan estetika melalui medium bahasa; untuk tujuan ini diperlukan kecanggihan yang berbentuk melalui pembekalan sepanjang berlangsungnya proses didaktik dan otodidak.
Pendidikan sastra adalah pendidikan yang kreatif. Sastrawan adalah penulis kreatif. Persoalannya, kenapa di masa lalu pendidikan sastra tak dapat maju? Barangkali karena saat itu tidak begitu diperlukan orang-orang kreatif. Ini disebabkan pola pembinaan di masa itu adalah pola militan dan komando. Bila ada orang yang kreatif, maka sistem komando atau militan itu tidak bisa berjalan. Kenapa sewaktu di taman kanak-kanak ada belajar seni? Ini disebabkan sewaktu kecil anak-anak perlu kreativitas. Kita dapat menyaksikan di taman kanak-kanak atau prasekolah itu yang pertama diajarkan adalah seni menggambar, menyanyi, bercerita, bermain, menyusun, dan lain-lain. Akan tetapi, setelah mulai tumbuh maka kreativitas itu mulai dikurangi dengan jalan hafalan. Sistem pendidikan yang diperlukan cenderung upaya untuk memenuhi NEM pada Ebtanas.
Kreativitas tidak saja diperlukan oleh murid, melainkan juga oleh guru dan didukung prasarananya yang memadai. Bila guru tidak kreatif dan prasarananya tidak memadai untuk menciptakan lingkungan kreatif, maka hasilnya tentu saja tidak memuaskan. Kreativitas guru bukan dituntut begitu saja, tetapi faktor penunjang kreativitas guru itu pun perlu diperhatikan. Bila dulu guru dihadapkan dengan GBPP yang terkomando maka sekarang tidak lagi demikian. Rasanya tidak perlu lagi segala sesuatu itu dalam bentuk sama atau seragam. Bukankah semboyan di kaki burung garuda adalah Bhinneka Tunggal Ika. Keberagaman menjadi satu. Inilah yang terjadi selama ini. Bila di suatu sekolah atau daerah, misalnya, ditentukan sebagai buku wajib untuk sebuah novel adalah Siti Nurbaya atau puisi adalah sajak Aku, maka daerah lain juga diwajibkan begitu. Padahal tidak harus demikian. Akibatnya semua siswa di nusantara ini hanya dikenalkan dengan Marah Rusli dan Chairil Anwar saja.
Kalau seperti ini halnya maka akan janggal bila seorang anak bertemu puisi atau karya sastra lainnya yang berbeda isi dan bentuk. Misalnya sajak Aku dalam bentuk lain berjudul Semangat. Cerita Malin Kundang misalnya ada beberapa bentuk. Bila dahulu kita kenal cerita Malin Kundang dinyatakan kedurhakaan anak terhadap ibu, maka dalam bentuk lain A. A. Navis cerita Malin Kundang itu dinyatakan ibunya yang durhaka. Menurut Wisran Hadi, Malin Kundang tidak durhaka tetapi tukang rebab (penceritalah) yang menyelesaikan cerita jadi lain. Bila Malin Kundang itu menurut cerita lama menjadi batu, menurut Umar Junus menjadi pohon pisang. Sementara menurut Alwi Karmena melalui Malin Kundang Milenium bahwa Malin Kundang itu hanya konsep kedurhakaan, maka semua kedurhakaan dianggap Malin Kundang seperti wakil rakyat yang durhaka kepada rakyatnya, pemerintah, pakbrik semen Padang, dan lain-lainnya. Mungkin lain lagi menurut versi-versi lain.
Ada banyak cerita Malin Kundang (MK). Masing-masing cerita itu tumbuh dan berkembang. Bermula dari cerita rakyat yang berkembang dari mulut-telinga-mulut, kemudian dibukukan. Selanjutnya muncul MK dalam bentuk kreatifitas lain seperti puisi, cerpen, film, sinetron, dan esai. Semua cerita itu tetap saja tentang kedurhakaan, akan tetapi tidak saja durhaka antara anak dan ibu, namun juga kedurhakaan ibu kepada anak, dan pengarang kepada pembaca. Malin Kundang susunan Syamsuddin Udin (bertolak dari dendang rebab), Malin Kundang, Ibunya Durhaka cerpen A. A. Navis; Malinkundang, Malinkundangkah Engkau? Puisi Hamid Jabbar; Malin Kundang naskah drama Wisrann Hadi; Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang karya Goenawan Mohammad; Liem Khoon Doang karya Wisran Hadi; Malin Kundang Menantang Mitosnya karya Umar Junus; Malin Kundang Millenium karya Alwi Karmena; Malin Kundang sinetron SCTV; dan Malin Kundang 2000 karya Budiar Putra.
Bila kejadian seperti demikian, maka tentulah guru akan sulit menerangkan atau meyakinkan siswa akan kebenaran cerita Malin Kundang yang dahulu itu. Hal-hal seperti ini diperlukan kejelian guru dengan memperkaya bacaan-bacaan tambahan. Dalam proses kreativitas penulis atau sastrawan tidak saja lagi berdasarkan kehidupan dirinya sendiri atau realitanya sendiri, tetapi bisa saja berdasarkan pengalaman orang lain. Misalnya novel Saman karya Ayu Utami yang sangat laris dan terkenal itu. Dalam wawancara beberapa waktu yang lalu, Ayu Utami menjelaskan bahwa sebenarnya ia belum pernah hidup di Palembang, namun ia bisa bercerita banyak tentang Palembang. Hanya sekali saja ia datang ke anjungan minyak lepas pantai, namun hasil tulisannya mengesankan ia telah bertahun-tahun di sana. Bagitu juga dengan cerita bersambung berjudul; Si Bungsu karya Makmur Hendrik yang mengisahkan tentang kehidupan rezim Yakuza di Jepang. Padahal Makmur Hendrik menginjak Jepang setelah novel itu selesai. Begitu juga dengan cerita-cerita silat Ko Ping Hoo, penulis cerita silat yang terkenal itu.
Peran karya sastra sangat banyak yang perlu disampaikan kepada siswa. Sastra bukan saja untuk dibaca dan dinikmati sebagai tugas belajar, tetapi memegang peran yang lebih luas lagi. Karya sastra dapat saja sebagai sarana peneguhan struktur sosial masyarakat, seperti Cindur Mato dan Sejarah Melayu (karya masterpiece dalam khazanah sastra Minangkabau dan Melayu yang diciptakan dalam rangka peneguhan struktur sosial pada waktu itu. Raja yang diakui sebagai pemimpin masyarakat itu adalah pemegang kekuasaan tertinggi. Kebesaran negara didukung oleh citra rajanya yang berkekuasaan tinggi. Sebagai penguasa tertinggi, kekuasaannya dibatasi oleh kemahakuasaannya Tuhan. Raja harus “adil pada memeliharakan rakyat”, “bijaksana”, “baik barang lakunya”, dan tidak memiliki cela. Raja yang menghukum rakyat dengan tiada salah, hancurlah negaranya. Terhadap raja yang idaman yang berdaulat itu, rakyat pun tidak boleh durhaka. Kedurhakaan rakyat akan membawa malapetaka bagi masyarakat dan negara. Pranata sosial demikian dapat hidup terus dari generasi ke generasi.
Karya sastra juga sebagai cerminan gejala yang muncul dalam masyarakat dan cendrung memperlihatkan tragedi sosial ditujukan oleh kondisi masyarakat yang makin cenderung memperlihatkan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, semakin sulitnya mendapatkan lahan untuk bekerja, kesenjangan sosial yang makin melebar, birokrasi yang terlihat kencang meningkatkan langkah-langkah kerja, kerja yang tidak efisien berhamburan sia-sia, juga oleh kelaparan yang muncul di berbagai belahan bumi Indonesia. Terlihat dalam sajak Taufiq Ismail dengan judul Kembalikan Indonesia Padaku.
Karya sastra dapat merubah citra suatu masyarakat. Hal ini dapat dilihat berubahnya kehidupan masyarakat yang dahulunya lebih suka mengawinkan anak perempuan berdasarkan kehedak orang tua, namun setelah adanya novel Siti Nurbaya yang menjadi pameo masyarakat menjadi perempuan muda tidak mau saja lagi dijodohkan oleh orang tua. Banyaknya lelaki yang poligami sehingga tidak tahu lagi anak seayah menikah. Hal ini dilukiskan oleh A. A. Navis lewat cerpen Datangnya dan perginya yang kemudian dikembangkan menjadi novel Kemarau. Begitu juga dengan novel Chairul Harun yang dapat merubah sikap orang Pariaman suka bersuami banyak atau kawin dengan janda. Perubahan sikap para kiai yang selalu memikirkan sorgawi saja daripada duniawi telah dapat tersadarkan melalui cerpen Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis. Emha Ainun Najib dengan karyanya Slilit Sang Kiai telah dapat menggerakkan hati sekelompok mahasiswa dan bertindak lebih hati-hati terhadap harta milik orang lain.
Karya sastra dapat juga dilihat secara intertekstual, di mana dalam karya itu akan ada teks atau karya lainnya. Naskah cerita Puti Bungsu karya Wisran Hadi akan mengingatkan kita terhadap cerita Malin Kundang dan kompleks cerita Malin Deman.
Dalam karya sastra dapat juga dilihat unsur tidak cerita dan cerita. Misalnya banyak orang menyangkutkan kisah Siti Nurbaya itu memang kejadian sebenarnya karena di dalam novel tersebut ada tempat-tempat yang memang ada seperti puncak bukit gado-gado tempat bermain ayunan Siti Nurbaya serta kuburannya. Pada cerita-cerita klasik atau tradisional juga demikian. Kebanyakan orang setelah mendengar kaba Minangkabau merasa yakin betul bahwa cerita itu seakan-akan benar terjadi. Cerita adu kerbau di Minangkabau dianggap cerita yang sebenarnya, sehingga kata Minangkabau berarti menang kerbau. Cerita Malin Kundang juga demikian karena di tempat kejadian dalam cerita itu memang ada batu yang mirip kapal dan dermaga. Malahan sekarang relief cerita Malin Kundang itu dibuat sesuai dengan yang sebenarnya.
               Orang dari budaya Minang umumnya takut dikatakan Malin Kundang. Hal itu jelas kelihatan pada sajak Syahril. Oleh kerana itu, seorang pemuda enggan mengaku diri Malin Kundang bila dia didekati Malin Kundang begitu dia menjejakkan kaki di Teluk Bayur. Dia mengingat dan mengasihi ibunya. Ini dilanjutkannya dengan dekonstruksi citra ibu yang biasa yang terdapat dalam cerita MK .Malin Kundang menjadi batu bukan kerana kutukan ibu, tetapi hukuman Tuhan kerana dia menderhaka kepada ibunya. Hal ini ditemui juga pada Wisran, Umar Junus, Navis dan Irwansyah. Rasa takut mereka dikaitkan dengan Malin Kundang telah mendorong mereka memperolokkan cerita itu. Sehubungan itu, Irwansyah memberikan sifat lain pada Malin Kundang 2000, hingga dia kelihatan berbeza dari cerita MK orang lain. Yang mereka dekonstruksikan hanya ceritanya. Batunya tetap utuh. Dekonstruksi itu pasti memungkinkan cerita MK dapat menghidupi dunia kini. Ia bukan hanya sebahagian daripada masa lampau. Hal ini boleh dilakukan dengan melihatnya daripada berbagai perspektif dan secara kreatif, lantaran dapat mengolah kemungkinan yang disediakannya.
               Dengan perlakuan cerita MK yang dibicarakan tadi, cerita MK  yang dikatakan berasal dari masa lampau telah menjadi bahagian kehidupan kini. Ia mempunyai tempat dalam kehidupan hari ini. Sikap itu sekaligus mengekalkan kehadirannya. Ia mungkin lebih kepada Cerita Malin Kundang yang tadinya hanya sebahagian budaya Minangkabau yang kini juga merantau ke luar wilayah budaya asalnya. Ini barangkali juga boleh dilakukan terhadap cerita rakyat lain dan ini menunggu pengolahan selanjutnya.
Apa dan mengapa Malin Kundang hadir dalam kehidupan dan kebudayaan kita. Kita bisa lihat dari sisi apa saja, tanggung jawab, kewajiban, adat, agama, politik dan keadaan. Inilah sebuah kajian awal tentang Malin Kundang dari masa ke masa. Malin Kundang memang anak durhaka, tetapi apakah kedurhakaan itu timbul oleh Malin Kundang semata, bagaimana dengan keadaan, adat, agama, ekonomi, dan budaya yang ada pada waktu Malin Kundang itu ada. Malin Kundang ada di berbagai daerah di Indonesia (nusantara) ini. Untuk itu perlu suatu kajian sebagai penelusuran budaya dan bentuk lainnya. Apakah ini cognitive cultural?
Akhirnya karya sastra mempunyai peran fungsional dalam masyarakat antara lain memberikan hiburan, ketenangan batin, peredam kemarahan, melembutkan hati yang keras, sarana pembangkit dan pengibar semangat juang, menjadi sarana pengajaran yang efektif, sarana penegak tata sosial, pemberi informasi tentang pelajaran  moral dan agama, serta pemberi infromasi tentang berita sejarah dapat dilihat dari berbagai sudut dan segi. Karya sastra tidak dapat dimaknai untuk sekali baca saja. Bahkan setiap kali kita baca akan muncul persepsi dan makna yang baru.



Daftar Pustaka

A. A. Navis. 1990. Bianglala Kumpulan Cerpen. Jakarta: Pustakakarya Grafikatama
--------------. 1967. Kemarau. Bukittinggi: Nusantara
Chairul harun. 1979. Jakarta: Pustaka Jaya
Emha Ainun Nadjib. 1996. Slilit Sang Kiai. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Fuad Hasan. 1993. Catatan Perihal Sastra dan Pendidikan. Makalah seminar
Internasional Sastra, Film, dan Pendidikan Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Marah Rusli. 1990. Siti Nurbaya. Jakarta: Balai Pustaka
Siti Chammamah Soeratno. 1994. Sastra dalam Wawasan Pragmatis Tinjauan atas Azas
Relevansi di dalam Pembangunan Bangsa. Pidato pengukuhan jabatan guru
besar pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Umar Junus. 1993.  Dongeng tentang Cerita. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia
------------- 2005. Malin Kundang dan Dunia Kini. e-mail: junus at pc.jaring.my
Wisran Hadi. 1985. Liem Khoon Doang. Padang: Bahan Program Ceramah Penulisan
      Kreatif di Museum Adhityawarman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar