PERAN WANITA DALAM KABA
Drs. Hermawan
ABSTRACT
This research exposes woman
profile derives in Minangkabau Kaba as one of traditional literature works of
Minangkabau. The aim to exposes woman profile derives from an idea that woman
in Minangkabau have vital role because its social system is matrilineal and
literature work is a reflection of its social life. Therefore, woman profile is
also expressed in the Kaba.
To respond the above paradigm,
the researcher choose the Kaba with the following samples: (1) Cindua Mato Kaba
of M. Yusuf's philologic work under title 'Transliteration Problem and Story
Edition of Tuanku Nan Muda Pagaruyung (Cindua Mato Kaba)', (2) Anggun Nan
Tungga Kaba of Ambas Mahkota's work, (3) Malin Deman Kaba of Nurizzati's
philologic work under title 'Malin Deman Raba: A Philologic Study'. This
choice is based upon a consideration that the above three Kaba can be said as a
representative to illustrate or to represent the .existing Minangkabau Kabas.
The kabas which are taken as samples of this research are still sung orally and
printed many times up to now in the form of publication.
To achieve the aim of this
research, some approaches of literature sociology and psychology are used. A
Kaba as a literature work is regarded as a 'reflection' of society; and
therefore what is expressed through the kaba can not be rid of social condition
as its background..
Based on the above theory, the
result of this research shows that woman roles in family as a wife, mother,
child, older sister, younger sister, and grandmother. In society, a woman
roles as a leader of family and member of society such as household servant,
birth shaman, businesswoman or manager of flower garden, foster mother,
clothes drier, or local pastoralist. Woman profile in the Kaba has a close
connection with individual personally of society according to Minangkabau
social system. Moreover, woman in the Kaba role in giving initiation or
inauguration to members of Minangkabau society.
Key words: kaba - woman profile
Pendahuluan
Peran wanita Indonesia pada
saat ini dapat digambarkan sebagai manusia yang harus hidup dalam situasi
dilematis. Maksudnya di satu sisi wanita Indonesia dituntut untuk berperan
dalam semua sektor, tetapi di sisi lain muncul pula tuntutan lain agar wanita
tidak melupakan kodratnya sebagai wanita. Misalnya wanita Indonesia yang
berkarir. Wanita karir ini, di satu sisi merasa terpanggil untuk
mendarmabaktikan bakat dan keahliannya bagi perkembangan bangsa dan negara Indonesia. Di
sisi lain mereka dihantui oleh opini yang ada dalam masyarakat yang melihat
bahwa wanita karir/ibu karir sebagai salah satu sumber ketidakberhasilan
pendidikan anaknya dan yang sangat memprihatinkan adalah opini di kalangan masyarakat
yang melihat bahwa wanita karir adalah "pengganggu suami orang lain"
(Soetrisno, dalam Ridjal, 1993: 108).
Menurut
Armini (1986: 45) wanita pekerja tercitra sebagai wanita yang berada dalam situasi
ambivalen atau berwajah ganda. Di satu sisi wanita pekerja ingin memupus
anggapan bahwa tugas utama wanita adalah di sektor domestik, tetapi di sisi
lain anggapan itu dikokohkan. Kemudian di satu sisi wanita pekerja ingin
mengubah pandangan kedudukan wanita tidak setara dengan pria, tetapi di sisi
lain wanita justru bertindak sebaliknya.
Lebih lanjut
diungkapkan Lukman Soetrisno bahwa terjadinya dilematis wanita Indonesia
tersebut disebab oleh pertama, bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang
pluralistik dari segi etnik dan kebudayaannya; kedua, situasi dilematis yang
saat ini dihadapi oleh wanita Indonesia merupakan hasil dari suatu proses
interaksi dari berbagai faktor sosial dan politik yang berkembang di negara
Indonesia; tiga, adanya pluralisme etnik dan kebudayaan itu maka tidak mungkin
secara adhock membuat suatu pendapat yang mengeneralisir bahwa wanita Indonesia
sejak semula memiliki kedudukan yang rendah tanpa mempelajari kedudukan wanita
dalam konteks kebudayaan dari masingmasing suku bangsa yang di bumi nusantara
ini. Wanita Minangkabau tidak dapat disangkal lagi memiliki kedudukan yang
sederajat dengan lelaki bahwa dalam kebudayaan Minangkabau wanita justru
mempunyai kedudukan yang jauh lebih tinggi dari pada kaum lelaki karena mereka
dianggap penjaga dari harta pusaka keluarga (Soetrisno dalam Ridjal, 1993:
108).
Masyarakat
Minangkabau memiliki keunikan bila dibanding dengan masyarakat kultur lainnya
di Indonesia.
Keunikan ini disebabkan oleh paham matrilineal yang dianut oleh masyarakat
Minangkabau yang mengambil garis keturunan menurut garis ibu. Dengan paham yang
dianutnya ini, peranan dan kedudukan wanita menjadi lebih panting di dalam
kehidupan masyarakat Minangkabau (Asri, 1996: 3). Pentingnya posisi wanita
dalam keluarga juga diungkapkan oleh Holleman dan Vreede-De Stuers (dalam Baried,
1994: 6) yang mengatakan bahwa wanita dalam sistem matrilineal, yaitu menurut
garis keturunan ibu, kedudukan wanita panting karena di tangannyalah kehidupan
keturunan tergantung. Dalam sistem ini pihak wanita adalah memegang keputusan
dan berwenang menentukan kebijaksanaan. Untuk melihat bagaimana peranan dan
kedudukan wanita Minangkabau dalam kehidupan masyarakat dengan konsepsi budaya
adatnya akan dilakukan penelitian melalui karya sastranya yaitu kaba.
Kaba, salah
satu karya sastra tradisional Minangkabau, secara langsung atau tidak tentu
akan memberikan gambaran tentang kultur ;Minangkabau termasuk wanita dan segala
aspek kehidupannya. Ini sesuai dengan pendapat Damono (1979: 1) yaitu bahwa
karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, 'dipahami, dan
dimanfaatkan oleh masyarakat. Sejalan dengan itu, H.B. Jassin (1983: 4)
mengemukakan bahwa karya sastra selalu menarik perhatian karena mengungkapkan
penghayatan manusia yang paling dalam, dalam perjalanan hidupnya di segala
zaman dan di segala tempat di dunia ini. Melalui karya sastra sebagai basil
kesenian, kita memasuki dunia pengalaman bangsa dan bangsa-bangsa dalam sejarah
dan masyarakatnya, menyelami apa yang pernah dipikirkan dan dirasakan dan
dengan demikian menambah kearifan dan kebijaksanaan dalam kehidupan.
Menurut
Soeratno (1994: 14) sastra dipahami sebagai sarana "penghibur duka
lara", sebagai pembawa rasa tenang, sebagai "pelipur hati bagi yang
memendam cinta berahi", sebagai "perintang-perintang waktu",
sebagai dokumen penyaji informasi masa lampau, sebagai legitimasi suatu
kekuasaan, sebagai penyangga pranata sosial, sebagai pembawa ajaran moral, baik
dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan masyarakat, dan sebagai
pencerdas bangsa.
Kaba sama dengan `kabar' (Junus, 1984a: 17; Navis, 1986: 243) sehingga
juga berarti `berita'. Sebagai istilah ia menunjuk suatu jenis sastra
tradisional lisan Minangkabau yang diceritakan oleh seorang tukang kaba dengan
diiringi saluang, rebab, dan alat musik lainnya atau melalui pertunjukan
randai. Kaba berbentuk prosa liris. Bentuk ini tetap dipertahankan bila
diterbitkan dalam bentuk buku. Kesatuannya bukan pada kalimat dan bukan pada
baris. Kesatuannya ialah pengucapan dengan panjang tertentu yang terdiri dari
dua bagian yang berimbang.
Sesuai dengan
hakikatnya sebagai fiksi, cerita kaba mengungkapkan pelbagai masalah kehidupan
manusia dengan keunikan penyampaian yang spesifik. Penyampaian yang terjadi
padu akan melukiskan kehidupan masyarakat Minangkabau yang kompleks dan dapat
menyampaikan pesan sebaik-baiknya kepada masyarakat pembaca (Udin. 1982: 99).
Kaba sebagai
bentuk karya sastra dari satu sisi dapat berfungsi sebagai "cermin dari
masyarakat", Ini sesuai dengan konsep Alan Singewood yang
menyatakan sastra adalah cermin masyarakat, atau cermin suatu zaman atau sastra
adalah refleksi atau refraksi sosial (dalam Damono, 1979: 4; Junus, 1934: 57).
Beberapa
pemikiran semacam itulah yang menjadi faktor pendorong untuk meneliti peran wanita
dalam kaba Minangkabau dan hubungannya dengan keadaan yang ada dalam
masyarakat Minangkabau sesuai dengan sistem dan adat yang dianut. Dengan
penelitian ini, diharapkan beberapa hal yang menyangkut peran dan perilaku
wanita Minangkabau dapat dikenali dan diidentifikasikan. Pada tahap selanjutnya
diharapkan akan dapat memberikan masukan-masukan positif dalam pengembangan
kebudayaan nasional pada umumnya, pengembangan kesusasteraan daerah khususnya.
Penelitian
ini mempergunakan kaba yang representatif yaitu; (1) kaba Cindua Mato (CM) yang
diangkat dari basil penelitian filologis M. Yusuf dengan judul "Persoalan
Transliterasi dan Edisi Hikayat Tuanku Nan Muda Pagaruyung (Kaba Cindua Mato)
"; (2) kaba Anggun nan Tungga (ANT) karya Ambas Mahkota; (3) kaba Malin
Deman (MD) dari kajian filologis Nurizzati dengan judul "Kaba
Malin Deman sebuah Kajian Filologis".
Pendekatan
Teoritis
Penelitian peran wanita dalam kaba Minangkabau ini dilakukan dengan
memanfaatkan teori yang memadai. Teori yang memadai tersebut adalah teori yang
dapat mengungkapkan dan menjawab permasalahan yang dirumuskan di atas. Teori Yang dapat mengungkapkan
tentang permasalahan di atas adalah sosiologi sastra, karena sejak semula
penelitian ini sudah membicarakan tentang sosiologi sastra.
Dengan
sosiologi sastra ada dua hal yang tercakup, yakni "sosiologi" dan
"sastra". Weber (dalam Susanto, 1983: 2) mengatakan bahwa sosiologi
adalah cabang ilmu yang mengerti, dan menjelaskan tindak tanduk sosial manusia yang mempunyai pengaruh terhadap
masyarakat. Tindakan sosial adalah tindakan yang oleh individu dimaksudkan
untuk mempunyai pengaruh terhadap tindakan, dan sikap orang lain, dan bahwa
faktor lain itu diperhitungkan dalam tindakan semulanya. Ada pun objek materi sosiologi ialah
kehidupan sosial manusia, dan gejala suatu proses hubungan yang mempengaruhi kesatuan
hidup (Susanto, 1983: 4).
Sejalan
dengan itu Damono (1979: 7) menyatakan bahwa sosiologi adalah telaah yang
obyektif dan ilmiah tentang manusia dan masyarakat; telaah tentang lembaga dan
proses sosial. Sementara itu, sastra juga berurusan dengan manusia dalam
masyarakat; usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan juga usahanya untuk
mengubah masyarakat itu. Oleh sebab itu, sesungguhnya sosiologi dan sastra
berbagi hal yang sama. Perbedaannya adalah bahwa sosiologi melakukan analisis
ilmiah dan objektif, sedangkan novel (sastra) menyusup menembus permukaan
kehidupan sosial dan memperlihatkan cara-cara manusia menghayati masyarakat
dengan perasaannya (Damono, 19789: 8).
Junus (19846:
3-5) membahas teori tentang karya sastra sebagai dokumen sosio-budaya. Dalam
hal ini, sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya yang mencatat kenyataan
sosio-budaya atau masyarakat pada masa tertentu. Pendekatan ini hanya tertarik
pada unsur-unsur sosiobudaya yang terdapat dalam karya itu sendiri yang
dilihat sebagai unsur-unsur lepas dari kesatuan karya. Kajian tersebut hanya
mendasarkan kepada cerita tanpa mempersoalkan struktur karya. Oleh karena itu,
terdapat tiga kemungkinan yang dapat ditempuh dalam pendekatan ini, yakni:
1.
Suatu unsur dalam karya sastra
diambil secara terlepas dari hubungannya dengan unsur lain dan kemudian
dihubungkan langsung dengan suatu unsur sosio-budaya;
2.
Pendekatan ini boleh mengambil
"citra" tentang sesuatu – wanita, laki-laki, orang asing, tradisi,
dunia modern dan lain – dalam suatu karya atau beberapa karya yang mungkin saja
dilihat dalam perspektif perkembangan. Dengan demikian, maka akan dapat
terlihat perkembangan citra tentang sesuatu tersebut.
3.
Pendekatan ini boleh mengambil motif
atau tema yang keduanya berbeda secara gradual.
Dalam penelitian
ini akan dilihat peran wanita dalam kaba dan kaitannya dengan konsepsi budaya
dan 'adat Minangkabau yang melatari terciptanya kaba. Oleh sebab itu,
permasalahanlah yang menjadi dasar penelitian bukan struktur, seperti yang
diungkapkan Umar Junus di atas.
Cara
Penelitian
Penelitian
ini merupakan penelitian kepustakaan untuk mendeskripsikan peran wanita dalam
kaba Minangkabau dan hubungannya dengan konsepsi budaya dan adat istiadat
Minangkabau. Berdasarkan landasan teori di atas, maka dijabarkanlah langkah-langkah
operasional penelitian ini menjadi beberapa tahap kegiatan.
1.
Merumuskan peranan wanita dalam kaba
Minangkabau terhadap keluarga dan masyarakat.
2.
Merumuskan hubungan peran wanita
dalam kaba Minangkabau dengan konsepsi budaya dan adat istiadat yang dianut
pada wanita itu.
Hasil dan Pembahasan
Wanita
dalam Keluarga
Keluarga terbentuk jika ada ikatan perkawinan antara seorang lelaki dan
wanita (Munandar, 1985: 40). Dalam setiap keluarga senantiasa dijumpai kaum
lelaki dan wanita. Khususnya wanita yang dijumpai dalam keluarga juga dijumpai
bermacam-macam status dan keadaannya. Wanita yang dijumpai dalam keluarga
mungkin sebagai istri, ibu, anak, nenek, mertua, pembantu rumah tangga, anggota
keluarga atau famili, dan mungkin pula seorang teman.
Kehidupan keluarga bagi wanita telah memberikan bermacam-macam peranan
dan fungsi yang harus dilaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Menurut Hasan
Basri (dalam Sokah, 1995: 43) peranan dan fungsi wanita dalam keluarga tersebut
adalah menjadi istri dan teman hidup dari sang suami, partner dalam bidang
seksual, pengasuh dan pengatur rumah tangga, menjadi ibu, pengasuh, pendidik
dan pengatur rumah tangga bagi anak-anak suaminya, dan menjadi anggota
masyarakat lingkungan kehidupannya.
Pengungkapan peran wanita dalam keluarga pada kaba yang dijadikan sampel
dari kajian yakni kaba Cindua Mato, Anggun nan Tungga, dan Malin Deman membahas
peran wanita dalam rumah tangga sebagai istri, ibu, dan anggota masyarakat
lingkungan kehidupannya yaitu sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Selanjutnya satu persatu akan diuraikan peran di atas sesuai dengan yang
diperankan wanita dalam kaba tersebut.
Peran Wanita dalam Kaba Minangkabau
Peran wanita dalam keluarga yang ditemui dalam penelitian ini adalah
sebagai istri dan teman hidup dari sang suami, partner dalam bidang seksual,
pengasuh dan pengatur rumah tangga bagi anak-anak dan asumsinya, menjadi
anggota masyarakat lainnya.
Wanita
sebagai istri adalah pengurus rumah tangga, perawat anak-anak, figur ibu yang
penuh perasaan dan bolas kasih, dan seks sebagai kewajiban terhadap suami
(Shaevitz, 1989: 57).
Kehidupan
wanita sebagai istri dalam kaba yang dijadikan sampel dari kajian menunjukkan
kehidupan seperti gambaran yang dikemukakan Shaevitz di atas. Wanita hanya
mengurus sektor domestik saja (Budiman, 1982: 25).
Sebagai istri wanita dalam kaba ada yang setia sampai akhir hidupnya
mendampingi suami seperti Puti Linduang Bulan dengan Rajo Muda, Puti Bungsu
dengan Dang Tuanku (CM); Puti Mayang Sani dengan Rajo Tuah (MD). Ada wanita
yang menjadi istri (didampingi suami) hanya sampai mempunyai anak saja kemudian
berpisah seperti, Puti Lenggogeni dengan Cindua Mato setelah lahir anaknya
Sutan Amirullah dan Puti Lembak Tuah (CM); Andami Sutan dengan Anggun nan
Tungga menjelang lahir anaknya Mandugo Ombak. Ameh Manah dengan Nankodo Rajo
setelah lahir anaknya Puti Gondoriah, Ganto Pomai dengan Tuanku Haji Mudo
menjelang lahir anaknya Anggun nan Tungga, Galinggang Layua dengan Tuanku Haji
Mudo setelah lahir anaknya Katik Alamsudin (ANT); Puti Bungsu dengan Malin
Daman setelah lahir anaknya Malin Duano
Kehidupan
wanita sebagai istri pada umumnya tampak sementara saja. Hal ini dapat
dicermati berdasar basil penelitian disebabkan; (a) wanita (istri) tidak selalu
menggantungkan kehidupan sosialnya kepada lelaki (suami); (b) keterikatan suami
dengan keluarga ibu; (c) menghormati profesi suami; (d) berasal dari dunia yang
berbeda. Walaupun penyebab perpisahan itu dapat dipilah-pilah, tetapi semua
sating terkait dan secara keseluruhan mengkristal sehingga terjadilah
perpisahan secara baik dan sukarela. Dengan demikian, terlihatlah bahwa wanita
dalam kaba perkasa secara psikis tetapi tidak memiliki keperkasaan pisik.
Wanita menguasai pikiran dan perasaan suami dan anaknya. Wanita kukuh dan tegar
dengan pendiriannya, prinsip, dan tujuan hidupnya.
Wanita dalam kedudukannya sebagai ibu selalu berhadapan dengan anak
yang menyangkut tanggung jawab terhadap kebutuhan moral dan material anak.
Tanggung jawab tersebut meliputi usaha membesarkan anak, menyelenggarakan
pendidikan atau setidak-tidaknya mengusahakan pendidikan anak, menetapkan
norma-norma kehidupan bagi anak, mengendalikan perilaku kehidupan anak, dan
menentukan pula imbalan atau hukuman bagi anak. Dengan demikian, baik buruknya
anak ditentukan oleh ibu (Bassi dalam Sokah, 1995: 45-46).
Tanggung jawab secara moral bagi seorang ibu terhadap anaknya sudah
dimulai semenjak anak dalam kandungan. Hal ini dilakukannya dengan jalan
merawat kesehatan dirinya dan mencita-citakan anaknya kelak menjadi orang yang
berguna sebagaimana terungkap dalam harapan Ganto Pomai ketika mengandung
Anggun nan Tungga. Kepada anak tercurah harapan si ibu agar anaknya dapat
berguna bagi kebaikan keluarga dan masyarakat. Seorang anak sebelum dilahirkan
telah dibebani dengan tanggung jawab untuk menjaga kemaslahatan keluarga, kaum,
dan masyarakatnya.
Untuk
mewujudkan harapannya itu ada beberapa tanggung jawab yang dilakukan oleh
seorang ibu terhadap anak menjelang anak dewasa. Tanggung jawab utama adalah
mendidik anak dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan ini
diberikan ibu sesuai dengan kodrat anaknya sebagai manusia. Bila anaknya
seorang wanita tentulah akan diberikan pendidik yang dibutuhkan dalam kehidupan
sehari-hari sebagai wanita seperti dirinya sendiri sebagai ibu atau istri dan
pekerjaan wanita di sektor domestik. Bila seorang anak itu laki-laki maka
pendidikan diberikan sesuai dengan kebutuhan seorang laki-laki yang tugasnya
lebih banyak di luar keluarga atau sektor publik. Hal ini dapat dilihat pada
Bundo Kandung mengajari anaknya Dang Tuangku.
Wanita dalam
lingkungan keluarga terpusat pada perannya sebagai ibu, yakni sebagai orang
yang mendominasi kepentingan anak-anaknya. Wanita sebagai motivator, pendidik,
dan sekaligus hakim bagi anak-anaknya. Wanita sebagai seorang ibu dalam kaba
ini mengutamakan kepentingan anak-anaknya, melihat tanggung jawab yang penuh
dalam hal membesarkan dan mendidik anak. Wanita membesarkan dan mendidik anak
dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab, welas kasih, dan mandiri. Wanita
sebagai ibu mempunyai rasa sosial, toleran, tegar, dan kreatif dalam lingkungan
keluarganya. Dalam hal segala kebutuhan anak, wanita selalu berusaha untuk
memenuhinya dengan mandiri dan memberikan kebutuhan tersebut sesuai dengan
kodrat anaknya. Untuk anak laki-laki diberikan pendidikan yang ada hubungan
dengan kepentingan di luar keluarga atau laki-laki diberikan pendidikan yang
berbeda dengan anak wanita. Harapan wanita bahwa anak laki-laki merupakan
perpanjangan tangan wanita di luar keluarga. Anak wanita dianggap sebagai
pewaris dalam keluarga, sehingga diberikan pendidikan yang menyangkut
kepentingan keluarga. Dengan kata lain, bahwa anak laki-laki akan mempunyai
peran sebagai figur publik dan anak wanita sebagai figur domestik.
Sebagai.
anak dalam kaba yang diteliti ini, wanita dididik untuk patuh kepada ibu karena
ibu lebih dekat dengan anak daripada ayahnya. Hal ini terlihat dari uraian
wanita sebagai ibu. Ketidakhadiran ayah di camping anaknya terlihat pada Cindua
Mato dan Dang Tuangku, Puti Ranik Jintan dan Imbang Jayo dalam kaba Cindua
Mato. Begitu juga dalam kaba Anggun nan Tungga terlihat ketidak hadiran ayah
itu pada Anggun Nan Tungga dan Katik Alamsudin, dan Gondoriah.
Anak
wanita selalu dididik sebagai pengatur rumah tangga karena sosialisasi anak
wanita oleh orang tua lebih diarahkan untuk menjadi istri, ibu, dan pengelola
rumah tangga (Shaevitz, 1989: 25). Anak wanita diberi pelajaran yang menyangkut
tentang rumah tangga sedangkan anak laki-laki diberi pendidikan pekerjaan yang
dilakukan di luar rumah. Hal ini dilakukan Bundo Kanduang terhadap Dang Tuangku
dan Cindua Mato (CM), Suto Sori terhadap Anggun Nan Tungga (ANT), dan Puti
Mayang Sani terhadap Malin Daman (MD). Anak wanita sejak kecil sudah diarahkan
untuk menjadi seorang ibu karena wanita itu nanti akan menjadi ibu.
Anak wanita akan melakukan hubungan yang harmonis terhadap ayahnya bila
kepentingannya tidak terganggu. Bila kepentingan seorang anak wanita terganggu
oleh ayahnya, maka ia dapat saja berbuat semaunya dan melawan ayahnya. Hal ini
dilakukan Puti Bungsu yang melarikan diri dengan Cindua Mato saat ia akan
dikawinkan dengan Rajo Imbang Jayo.
Wanita
sebagai anak dididik untuk patuh kepada orang tua terutama ibu, karena ibu
lebih dekat dengan anak dari pada ayah. Ini terlihat dalam kehidupan yang ada
dalam kaba bahwa ternyata anak dibesarkan oleh ibu tanpa ayah. Cindua Mato dan
Dang Tuanku dibesarkan oleh Bundo Kandung tanpa ayah. Puti Ranik Jintan dan
kakaknya Rajo Imbang Jayo hidup jauh dari ayah (CM). Anggun nan Tungga dan
Katik Lamsudin yang ditinggal ayah sebagai seorang pertapa. Gondoriah yang
ditinggal ayah pergi merantau. Sebagai seorang anak wanita mendapat pendidikan
terarah mengenai kerumahtanggaan, karena wanita kelak diharapkan nanti juga
sebagai ibu dalam keluarga dan sekaligus pewaris keluarga. Dalam hubungan
dengan ayah, anak wanita akan harmonis bila kepentingannya tidak terganggu.
Bila kepentingannya terganggu maka anak wanita akan menjauhkan diri dari
ayahnya seperti yang dilakukan Puti Bungsu dalam kaba Cindua Mato.
Wanita
sebagai kakak dianggap sebagai pengganti ibu untuk mengkomunikasikan kegiatan
yang hendak dilakukannya. Ini terlihat pada Bundo Kandung dan Puti Bungsu
ketika mencari jalan keluar yang terbaik dalam suatu persoalan. Sebagai adik wanita
juga menjadi panutan seperti wanita sebagai kakak. Ini juga terlihat pada Puti
ranik Jintan yang sering membantu kakaknya Rajo Imbang Jayo dalam berbagai
persoalan. Begitu juga dengan Suto Sori terhadap kakaknya Katik Intan,
Mangukudum Sati dan Nankodo Rajo untuk diselamatkan dari kungkungan bajak laut.
Wanita
sebagai adik terhadap kakak laki-laki juga berfungsi sebagai ibu bila ibu tidak
ada. Bila ada ibu sebagai pembantu atau pelengkap kedudukan ibu. Hal ini dapat
terlihat pada Puti Ranik Jintan terhadap kakaknya Rajo Imbang Jayo yang hampir
putus asa karena dipermalukan oleh Cindua Mato. Puti Ranik Jintan memberi
nasehat dan pandangan terhadap kakaknya Rajo Imbang Jayo agar bersemangat
menuntut balas akan penghinaan kerajaan Pagaruyung.
Jadi jelaslah
bahwa peran wanita sebagai kakak atau adik bagi saudara laki-lakinya merupakan
peran sebagai pengganti ibu. Terhadap saudara wanita peran kakak wanita juga
sebagai ibu, sedangkan peran adik wanita terhadap saudara wanita begitu juga,
namun dalam mengambil keputusan tetap berada di tangan kakak sebagai wanita.
Dalam kaba
wanita yang berperan sebagai nenek adalah Kambang Bandahari dan Puti Lindung
Bulan dalam kaba Cindua Mato, dan Puti Mayang Sani dan enam orang saudaranya
dalam kaba Malin Deman. Peranan wanita sebagai nenek dalam kaba ini akan
terlihat harmonis dan serasi bila hubungan ibu dari cucunya itu juga
berhubungan baik. Bagi seorang nenek cucu tentulah dambaannya dan selalu akan
didekati dengan penuh kasih sayang.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa nenek akan dipatuhi cucunya bila ibu dari cucu
tersebut disayangi Pula
oleh neneknya. Sebaliknya hubungan ibu dari cucu tidak harmonis dengan
neneknya, maka ibu akan mengajari hal-hal yang jelek kepada anaknya. Jelaslah
bahwa anak akan mematuhi segala apa yang diinginkan oleh ibunya. Bila ibunya
sudah mengajarkan yang tidak baik kepada anaknya, maka anaknya akan berbuat
tidak baik kepada siapa saja sesuai
dengan apa yang diajarkan ibunya, meskipun terhadap neneknya sendiri.
Sebagai makhluk sosial wanita memiliki dorongan untuk berinteraksi
dengan lingkungan sosial. Lingkungan sosial yaitu merupakan lingkungan
masyarakat yang di dalamnya terdapat interaksi individu dengan individu lain.
Adanya lingkungan sosial ini akan sangat berpengaruh terhadap keadaan individu
sebagai anggota masyarakat (Walgito, 1990: 27). Demikian juga halnya bagi
wanita dalam kaba, keadaan lingkungan sosialnya akan berpengaruh kepada
eksistensinya sebagai wanita.
Wanita di tengah-tengah masyarakat dibanding dengan laki-laki memang kurang
mendominasi menjadi pemimpin sebab wanita lebih banyak hidup di tengah-tengah
keluarga. Wanita jika ingin berperan di tengah-tengah masyarakat akan
menyalurkan ide-idenya melalui laki-laki yang menjadi saudara atau anaknya.
Dengan demikian, laki-laki merupakan pimpinan dalam masyarakat, hubungan antar
keluarga, dan hubungan antar darah, meskipun secara implisit laki-laki
dikendalikan wanita. Hal ini terlihat ketika seorang ibu mendidik dan
membesarkan anaknya, seperti yang dilakukan Bundo Bandung terhadap anaknya Dang Tuanku dan Cindua Mato,
Suto Sari terhadap anaknya.
Jadi, jelaslah bahwa kepemimpinan seorang wanita dalam kaba kurang
mempergunakan pikiran dan lebih banyak mempergunakan perasaan. Wanita dalam
kaba memang tidak bisa mewujudkan maksudnya secara langsung kepada masyarakat,
namun wanita dalam kaba menyalurkan maksud dan tujuannya kepada saudara atau
anak laki-lakinya. Beberapa kasus dapat dilihat dalam kaba yang diteliti ini.
Bundo Kandung selalu mengambil keputusan dengan menyerahkan persoalan itu
kepada Basa Ampek Balai (semacam dewan kerajaan) dalam kerajaan Pagaruyung.
Bundo Kandung tidak dapat memutuskan sendiri setiap persoalan. Misalnya, ketika
kiriman apa yang akan diberikan pada pasta Puti Bungsu dengan Rajo Imbang Jayo
dan siapa yang pantas diutus untuk mengantarkan kiriman itu diputuskan oleh
Dang Tuanku bukan Bundo Kandung, meskipun Bundo Kandung adalah raja.
Wanita
sebagai pimpinan masyarakat mementingkan perasaan dan pikiran, sehingga wanita
lebih sering memberikan keputusan sesuatu hal dalam kepemimpinannya terhadap
laki-laki. Ini terlihat pada Bundo Kandung yang menjadi raja dalam kaba Cindua
Mato. Wanita dalam kaba selalu menyalurkan maksud dan tujuannya terhadap
laki-laki. Hal semacam ini terlihat pada Ganto Pomai dan Bundo Kandung ketika
mewujudkan keinginan menyelamatkan saudara-saudaranya dan memutuskan untuk
berperang dengan Rajo Imbang Jayo dengan Tiang Bungkuk.
Wanita
sebagai anggota masyarakat dalam kaba adalah wanita yang saling bantu membantu
dalam kehidupan bermasyarakat. Wanita karena kodratnya, seperti yang telah
dikemukakan di atas, lebih banyak berperan dalam keluarga dengan kemampuannya
dan dalam masyarakat pekerjaannya juga adalah pekerjaan yang di dapatnya
sebagai anggota keluarga. Wanita lebih banyak mengerjakan pekerjaan yang
bersifat kewanitaan atau domestik. Peran wanita yang lebih banyak ditemui dalam
kaba ini adalah sebagai pembantu rumah tangga (biasanya diberi panggilan
Kambang) yang selalu slap dan tangkas atas pekerjaannya.
Dalam
kehidupan masyarakat lainnya, wanita lebih banyak berperan dalam keluarga
dengan kemampuannya dan dalam masyarakat pekerjaannya juga adalah pekerjaan
yang didapatnya sebagai anggota keluarga. Wanita lebih banyak mengerjakan
pekerjaan yang bersifat kewanitaan atau domestik. Peran wanita dalam
masyarakat yang ditemui dalam kaba ini diantaranya sebagai pembantu
rumah tangga seperti yang dilakukan Kambang Bandahari. Peran lainnya sebagai
dukun beranak seperti yang dilakukan
Ameh Manah. Pengelola kebun bunga dan ibu angkat seperti yang dilakukan oleh
Mande Rubiah Randa Kaya dan Mande Rubiah Pakan Bunga. Pekerjaan wanita lainnya
adalah sebagai penjemur hasil pertanian dan pengembala ternak.
Peran Wanita dengan Konsepsi Budaya Minangkabau
Ada lima hal
yang dikemukakan adat istiadat Minangkabau tentang wanita yaitu (1) Limpapeh
rumah nan gadang berarti wanita sebagai kekuatan dalam suatu keluarga,
karena limpapeh artinya tiang tengah dalam sebuah bangunan; (2) umbun
puruak pegangan kunci dimaksud bahwa wanita adalah pemegang basil ekonomi; (3)
pusek jalo kumpulan tali yaitu pengatur rumah tangga dan merupakan sumber
yang sangat menentukan baik dan jeleknya anggota keluarga; (4) sumarak dalam
nagari, hiasan dalam kampuang maksudnya wanita merupakan kesemarakan negeri
dan perhiasan kampung; (5) nan gadang basah batuah berarti lambang
kebanggaan dan kemuliaan.
Bila dilihat
dari konsepsi adat Minangkabau di atas maka wanita dalam kaba jelas
mencerminkan kehidupan, apa yang telah ditetapkan adat Minangkabau tersebut.
Sebagai kekuatan dalam keluarga, wanita telah berusaha untuk memberikan yang
terbaik dalam keluarganya seperti mendidik anak, sebagai pendamping suami,
mengatur rumah tangga, sebagai saudara (kakak dan adik) dan anggota keluarga
lainnya. Oleh karena wanita memegang hasil ekonomi, maka wanita Minangkabau
secara materi tidak berkekurangan, sehingga bila ditinggalkan oleh suaminya
mereka dapat hidup dengan baik, seperti Bundo Kandung, Lenggogini, Puti Reno
Bulan, Puti Ranik Jintan (CM), Ganto Pomai, Ameh manah, Galinggang Layua, Andami
Sutan (ANT), Puti Bungsu dan Sa,ntan Batapi (MD). Bila mereka tidak mempunyai
materi, mereka dapat saja melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan
kewanitaannya seperti menjadi pembantu rumah tangga, petani, petemak, dukun
beranak, penjual bunga, dan lain sebagainya, seperti Kambang Bandahari (CM),
Ameh Manah (ANT), Mandeh Rubiah Randa Kaya dan Mande Rubiah Pakan Bunga (MD).
Sebagai pengatur rumah tangga dan merupakan sumber yang sangat menentukan baik
dan jeleknya anggota telah dilakukan oleh wanita seperti Bundo Kandung (CM),
Ameh Manah dan Galinggang Layua (ANT). Sebagai semarak negeri dan hiasan
kampung dapat dilihat pada Lenggogini, Puti Bungsu dan Puti Reno Bulan (CM),
Gondoriah dan Santan Batapi (ANT). Sebagai lambang kebanggaan dan kemuliaan
dapat dilihat pada Bundo Kandung (CM), Suto Sori dan Ameh Manah (ANT).
Kepribadian
seseorang dan masyarakat menurut
adat didasari oleh budi dan malu. Untuk itu wanita dalam kaba selalu menjaga
budi dan malu tersebut secara baik. Hal ini dapat dilihat pada kemarahan Bundo Kandung
yang malu karena Cindua Mato telah melarikan Puti Bungsu; kemarahan Bundo
kandung terhadap adiknya Rajo Mudo karena malu dengan masyarakat akan hubungan
Dang Tuanku dengan Puti Bungsu yang diputus oleh Rajo Mudo; Puti Ranik Jintan menasehatinya
kakaknya karena malu kepada masyarakat akan penghinaan terhadap kakaknya Rajo
Imbang Jayo yang tidak
jadi kawin dengan Puti Bungsu; Suto Sori marah-marah kepada Anggun nan Tungga
dan Bujang Salamat karena membawa malu pulang; Suto Sori mengizinkan Anggun nan
Tungga mencari para pamannya karena malu atas fitnahan yang diedarkan Nan Kodo
Rajo; Gondoriah tan ke gunung ledang karena malu menerima kembali Anggun nan
Tungga yang sudah kawin; Puti Bungsu kembali ke langit karena dipermalukan oleh
mertua dan saudara-saudaranya; Puti Tangah memarahi Puti Bungsu yang tidak mau
melihat Medan Khiali sakit karena malu dengan
Mande Rubiah Pakan Bunga
yang akan menjadi calon mertua adiknya.
Kesimpulan
Berdasarkan
pendeskripsian penelitian peran wanita dalam kaba dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1.
Wanita dalam kaba berperan hanya
dalam keluarga yakni sebagai istri, ibu, anak, saudara (kakak dan adik), dan
nenek. Di luar lingkungan keluarga wanita kurang berperan seperti laki-laki.
Kecuali Bundo Kandung yang menjadi raja Pagaruyung.
2.
Wanita dalam keluarga terpusat
perannya sebagai ibu, yakni seorang yang mendominasi kepentingan anak-anaknya.
Sebagai ibu wanita bertindak sebagai motivator, pendidik, dan sekaligus hakim
bagi anak-anaknya. Dalam hat prioritas anak, wanita akan menempatkan anak
laki-laki sebagai perpanjangan tangannya terhadap lingkungan luar keluarga,
sedangkan anak wanita sebagai perpanjangan tangan dan pewaris kepentingan dalam
keluarga.
3.
Secara formal wanita tidak banyak
muncul dalam masyarakat yang lebih luas, namun pengaruhnya tetap besar karena
kepentingan dan kemauannya terdelegasikan melalui anak laki-lakinya.
4.
Peran wanita dalam kaba berhubungan
erat dengan kepribadian individual anggota masyarakat menurut sistem sosial
masyarakat Minangkabau. Bahkan wanita dalam kaba merupakan pengukuhan
kepribadian anggota masyarakat Minangkabau.
Daftar
Pustaka:
Armini,
1996. "Citra Wanita Pekerja dalam Empat Novel". Tesis Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
Asri,
Jasnur, 1996. Orientasi Nilai Budaya Tokoh Wanita dalam Novel Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
Baried,
Baroroh, 1984. "Citra Wanita dalam Kebudayaan Indonesia". Makalah Seminar
Nasional Wanita Indonesia:
Fakta dan Citra, Jakarta
23 - 25 Agustus.
Chamamah-Soeratno,
Siti,
1994. Sastra dalam Wawasan Pragmatic
Tinjauan alas Asas Relevansi di
dalam Pembangunan Bangsa. Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 24 Januari.
Damono, Sapardi Djoko, 1979. Sosiologi
Sastra: Sebuah Pengantar
Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Jassin, H.B., 1984. Sastra Indonesia sebagai Wargo Sastra Dunia. Jakarta. Gramedia.
Junus, Umar, 1984a. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau: Suatu Problem
Sosiologi Sastra. Jakarta: Gramedia.
_______ , 1984 Sastra Melayu Madan :
Fakta dan Interpretasi. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia.
Mahkota, Ambas, 1982. Anggun
nan Tungga. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Navis, A. A., 1986.
Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Graffitipers.
Nurizzati, 1994. "Kaba
Malin Deman Sebuah Kajian Filologis". Tesis S-2 Universitas Padjadjaran Bandung.
Penghulu, Idrus Hakimy Dt.
Rajo, 1994. Pegangan Penghulu, Bundo
Kanduang, dan Pidato Alua Pasambahan Ada: Minangkabau.
Bandung. Ramaja Rosdakarya.
Ridjal, Fauzi,
1993. Dinamika Gerakan Perempuan di
Indonesia. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya.
Sartain, A. Q., 1958. Psychology: Understanding Human Behaviour. McGraw-Hill
Book Company, Inc.
Susanto, Astrid, 1983. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta: Bina Cipta.
Udin, Syamsuddin, 1982.
"Kaba Minangkabau Karya Syamsuddin
Sutan Rajo Endah: Tinjauan dari Sudut Sosial Budaya". Padang:
Penelitian untuk Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa. Jakarta.
Walgito, Bimo, 1993. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar