Dari Pementasan Perempuan Itu Bernama Sabai
Sabai Jadi Pragawan
Oleh : Hermawan

Jika M. Rasyid Manggis Dt. Rajo Penghulu mengakhiri drama Sabai Nan Aluih dengan teriakan Sabai : “O rang kampuang!
                          Tolong jo tatiang bapak denai!
                          Tolong jo kiak bapak denai!
Maka Syuhendri mengakhiri pertujukan teaternya dengan gerakan tanpa kata bahwa Sabai menjadi peragawan. Dengan lenggak-lenggoknya, Sabai berjalan di depan penonton setelah Sabai merasa dirinya bebas, bebas dari segalanya. Setidaknya itulah yang dapat ditangkap ketika menonton pertunjukan teater Noktah Padang dengan cerita Perempuan Itu Bernama Sabai karya/sutradara Syuhendri di pelataran Taman Budaya Provinsi Sumatera, tepatnya di pelataran depan teater terbuka.
Pertunjukan teater Noktah kali ini tampil di alam bebas. Suatu pertunjukan teater yang jarang dilakukan oleh teaterawan. Menurut Syuhendri hal ini merupakan pencarian bentuk.
“Kami ingin mengungkapkan penjelajahan terhadap masalah Minangkabau dan Sabai, divisualkan dengan sederhana. Menggunakan bentuk dan bahan yang akrab dalam keseharian. Pertunjukan dipersiapkan di alam terbuka sebagaimana pertunjukan randai yang sering saya saksikan di masa kecil. Kami menyadari benar posisi marginal tempat pijak kami. Teater sebagai produk Barat yang terpisah dari jalinan sejarah tradisi masih diterima dengan malu-malu, dan gedung pertunjukan tetap asing bagi masyarakat yang tidak bersinggungan secara langsung.”
Pertunjukan dimulai dengan suara musik seperti bunyi air mengalir seakan kejadian peristiwa di tepi sungai di daerah pedalaman. Di tengah pentas ada sebuah kotak segi empat berupa kerangka tanpa dinding yang seakan menunjukkan sebuah menara jam besar. Kemudian masuk para pemain dengan gerak tari yang menyimbol karakter tokoh dalam cerita Sabai Nan Aluih. Karakter-karakter itu adalah Sabai Nan Auih, Rajo Nan Panjang, Narawatu, Mangkutak, Sadun Saribai. Gerak selanjutnya karakter Sabai sehari-hari sebagai perempuan yang menjalani rutinitas pekerjaan perempuan. Dan sesekali para pemuda mencoba menggoda Sabai dan kawan-kawan. Namun godaan atau rayuan ditolak dengan tegas oleh Sabai melalui gerakan tari. Suatu kali ada gerakan penolakan godaan atau rayuan Rajo Nan Panjang ketika Sabai sedang menumbuk padi lubung atau seang memasak. Begitu juga dengan Rajo Nan Panjang dengan Narawatu melakukan gerakan kebiasaan seorang raja yang selalu diiringi oleh pengawalnya, Narawatu. Gerakkan lain adalah karakter atau tingkah laku kebiasaan Mangkutak, adik Sabai, yang kekanak-kanakan, suka bermain seperti main layang-layang, dan lari-lari seperti tentara. Kemudian gerakkan Rajo Nan Panjang merayu Sabai, dan Sabai menolak rayuan Rajo Nan Panjang. Kemudian gerakkan keterikatan Sabai sebagai perempuan, sebagai warga yang dikungkung oleh adat perempuan. Hal ini disimbolkan dengan gerakkan tari membalut Sabai dengan kain tiga warna yaitu hitam, merah, dan kuning. Sabai diikat dengan kain tiga warna itu yang menyimbolkan warna marawa Minangkabau ke kerangka kotak segi empat yang sekaligus merupakan menara jam. Di saat Sabai terikat oleh adat dan aturan itu seakan-akan para lelaki khususnya Rajo Nan Panjang bebas melakukan apa saja. Sementara itu Sabai yang dalam keadaan terikat di kerangka kotak segi empat melalui gerakan lain karakter Sabai disimbolkan sedang melakukan keinginannya untuk bebas dari kungkungan yang ada pada diri dan lingkungannya. Dengan susah payah akhirnya Sabai dapat bebas. Dan disaat bebas itu Sabai digoda lagi oleh Rajo Nan Panjang, namun Sabai menantangnya dengan melempar para penggoda-penggoda itu termasuk Rajo Nan Panjang. Lemparan ini menyimbolkan bahwa Sabai telah menembak Rajo Nan Panjang. Kegiatan tokoh lelaki hilang dari pertunjukkan dan gerakan selanjutnya kebebasan Sabai dengan para perempuan lainnya. Sehingga akhirnya Sabai menjadi peragawan dengan melenggak-lenggok di depan umum. Gerakan ini diikuti dengan suitan dari para penonton yang dalam hal ini dilakukan oleh para pemusik. Kemudian Sabai juga melakukan gerak simbol melakukan pekerjaan kebiasaan perempuan seperti menyulam atau menjahit pakaian. Sabai jadi perempuan sekarang yang membutuhkan gender atau kesetaraan dengan lelaki atau perempuan karir.
Bagi yang mengetahui tentang cerita Sabai Nan Aluih agak mudah memahami pertunjukkan teater ini yang lebih banyak gerak dari pada dialog sebagaimana pementasan teater lainnya. Ini juga keinginan Syuhendri sebagaimana yang diungkapkannya sebagai berikut:
“ Eksplorasi gerak dengan menggunakan seminim mungkin bahasa verbal dipilih sebagai bentuk ucap. Gerak, gerik, ukua, jangko yang dipedomani sebagai tatanan kearifan dalam sikap orang Minangkabau dimanfaatkan dengan dominan. Dengan pemakaian warna dan jenis properti yang akrab dalam kehidupan masyarakat tradisi diperkirakan akan mendapat apresiasi.”
Sebagai sebuah pertunjukkan sangat menarik. Dan itulah yang disukai penonton saat ini. Namun sebuah pertunjukkan teater ada kekurangan unsur dialog. Keresahan menonton pertunjukkan ini sangat susah menanggapinya karena semua penuh dengan simbol melaui gerak, warna, pencahayaan, dan musik. Sebuah pertunjukkan teater bila ada dialog, maka pemain yang lain tidak ada gerakan atau dialog. Namun Noktah menampilkan semua yang ada di pentas bergerak. Sehingga multi kejadian atau tempat kita lihat secara bersamaan di atas pentas. Seakan ada beberapa kejadian yang sekaligus kita tonton. Sehingga bagi yang kurang memahami cerita Sabai Nan Aluih kurang dapat memahami simbol-simbol melalui gerakan yang sama ditampilkan. Musik ditampilkan menjadi latar saja dari kejadian tanpa masuk ke dalam cerita yang sedang berlangsung di pentas. Kadang-kadang musik juga keterangan dari cerita yang dipentaskan. Dialog sesekali merupakan pengukuhan gerakan yang dilakukan. Padahal tanpa dialog penonton juga tahu dengan gerakan itu. Penggunaan properti yang ada di pentas dapat dimainkan oleh pemain dengan baik. Pencahayaan agak monoton dan kurang meunjukkan latar kejadian. Latar kejadian dibantu oleh musik atau senandung dari pemusik. Pemakaian warna sangat sederhana sesuai dengan konsep masyarakat di pedalaman. Sehingga pemakaian kostum dan warna ketika Sabai sebagai seorang peragawan kurang mendukung.
Syuhendri telah menampilkan yang populer bagi perempuan saat ini adalah sebagai peragawan atau perempuan karir sehingga Sabai menyukai hal itu. Sabai lupa dengan anaknya yang kelaparan minta makan karena kesibukannya sebagai wanita karir. Saat lain Sabai juga memperlapar anaknya dengan nafsu birahi bila Sabai melenggak-lenggok sebagai pragawan dan pembawa papan ronde pertandingan tinju. Sabai sibuk dengan komputer sebagaimana perempuan saat ini. Suatu solusi yang menarik dari cerita Sabai Nan Aluih yang menjadi mitos selama ini. Sabai telah bebas dari kungkungan adat, kebiasaan perempuan, namun tetap saja Sabai seorang perempuan. Syuhendri telah merintis karir baru sebagai kreografer, meskipun gerak tari belum sesempurna seorang kreografer tari. Penggunaan-penggunaan simbol hampir pas terpahami saat menonton pementasan Perempuan Itu Bernama Sabai. Semoga Syuhendri berhasil dalam pencahariannya.
Sastra Indonesia Bung Hatta, Agus’05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar