Perkembangan Cerpen Sumatera Barat dalam Dua Dasawarsa:
Satu Tinjauan Awal

Oleh Hermawan

            Pembicaraan perkembangan cerpenis Sumatera barat adalah dalam rentang waktu 1970-an hingga 1990-an. Perkembangan pengerang cerpen di Sumatera Barat saat ini sangat menggembirakan terutama melalui media massa (baca: surat kabar). Hal ini setidak-tidaknya tampak dengan semakin bertambahnya jumlah cerpenis muda, baik secara umur maupun secara kreativitas. Kreativitas cerpenis Sumatera Barat ini dimulai semenjak adanya ruangan cerpen dan budaya pada surat kabar harian yang ada di Sumatera Barat. Surat kabar tersebut adalah Haluan, Singgalang, dan Semangat. Kesemua surat kabar itu adalah harian, sedangkan ruangan cerpen ada pada hari Minggu. Kemudian sekitar tahun 1980-an adalagi surat kabar Mingguan Canang yang juga menyediakan ruangan cerpen. Sebelumnya cerpenis Sumatera Barat belum begitu bergairah menulis cerpen. Mereka hanya membentuk kelompok-kelompok penulis dan mendiskusikan tentang kreativitas mereka pada Pusat Kesenian Padang (PKP) saat ini bernama Taman Budaya Sumatera Barat. Dari PKP tersebut lahirlah kelompok-kelompok penulis kreatif. Kelompok-kelompok penulis kreatif tersebut mengembangkan kreativitasnya melalui surat kabar Haluan dengan rubrik “Remaja Minggu Ini”, surat kabar Singgalang dengan rubrik “Teraju”, dan surat kabar Semangat dengan ruangan “Seni Budaya”. Dari ketiga surat kabar dengan ruangan budaya atau cerpen itu telah banyak nama-nama cerpenis yang lahir seperti Chairul Harun, Rusli Marzuki Saria, Darman Moenir, Harris Effendi Thahar, Alwi Karmena, Wisran Hadi, Asneli Luthan, Makmur Hendrik, Abrar Yusra, Leon Agusta (Ridwan Ilyas), Syarifuddin Arifin, Sofia Trisni, Indra Nara Persada, Wandra Ilyas, Arius Bustamam, Ismet Fanany, Albusyra Basnur, Emeraldi Chatra, Aryanto Thaib, Armansyah Nizar, Dermawan Ilyas, Dasril Ahmad, Adek Alwi, Ray Fernandez, Abrar Khairul Ikhirma, Inriani, Nita Indrawati Arfin, Free Hearty, Sastri Bakry, Yusril, Irmansyah, Rini F, Jamrah, Luzi Diamanda, Ysurizal KW, Gus Tf Sakai, Iyut Fitra, Sigit A. Yazid, Wannofri Samry, Afrimen dan beberapa nama lainnya.
            Nama-nama tersebut di atas tidak beberapa orang saja lagi yang masih eksis saat ini atau berkarya sampai sekarang dalam bentuk cerpen. Hal ini disebabkan beberapa hal yaitu, mereka merasa puas dengan terbitan daerah saja; memilih profesi lain karena dari segi ekonomi mereka kurang mendapat kehidupan yang agak lebih, malah kurang; berkarya pada tingkat nasional atau luar daerah Sumatera Barat; tidak dapat memenuhi selera dari redaktur surat kabar. Dalam lima tahun belakang ini sudah ada usaha Dewan Kesenian Sumatera Barat untuk menggairahkan penulis-penulis Sumatera Barat melalui bengkel penulisan yaitu di INS Kayutanam yang dikelola A. A. Navis.
            Pada sisi lain peranan kritikus sastra dan peneliti sastra semakin kurang eksis di Sumatera Barat. Hal ini ironis kalau dibandinngkan dengan lulusan Fakultas sastra yang semakin banyak. Bagi peneliti di kampus sudah mulai enggan menulis kritik di surat kabar karena honorarium sedikit sehingga mereka cenderung mencari proyek penelitian atau pemenuhan tugas sebagai staf pengajar.
            Sekarang cerpenis Sumatera Barat mulai berkiprah di tingkat nasional melalui surat kabar ibu kota seperti Kompas, Republika, Pelita, Suara Karya, Merdeka, majalah-majalah wanita, dan majalah sastra. Suatu hal yang menggembirakan karena Kompas adalah surat kabar yang terkemuka di republik tercinta ini. Cerpen-cerpen yang terbit di Kompas tersebut kemudian dipilih lagi untuk diterbitkan dalam kum;pulan cerpen terpilih Kompas. Sudah ada enam kumpulan terpilih Kompas semenjak tahun 1992 sampai 1997. Cerpenis Sumatera Barat yang paling sering (malah satu kali absen) terpilih cerpennya adalah Harris Effendi Thahar yaitu lima buah cerpen, A. A. Navis yaitu tiga cerpen masuk dalam kumpulan cerpen terpilih Kompas.
            Selain memublikasikan cerpen melalui surat kabar ada juga yang dipublikasikan dengan mener itkan kumpulan baik secara nasional dalam bentuk standar maupun secara lokal dalam bentuk stensilan dan foto copy. Kumpulan cerpen tersebut adalah Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis (1966) penerbit NV Bukittinggi dan Bianglala (1990) penerbit Pustakakarya Grafitama Jakarta; Bermula dari Debu karya Syarifuddin Arifin (1982) diperbanyak Taman Budaya Sumatera Barat Padang, Gamang (1989) karya Syarifudin Arifin juga diperbanyak Taman Budaya Sumatera Barat Padang, Selusin Cerpen (1986) karya Syarifuddin Arifin diperbanyak oleh HIMA Sastra Indonesia Universitas Bung Hatta Padang; Debu karya Dasril Ahmad (1986) diperbanyak oleh HIMA Sastra Indonesia Universitas Bung Hatta Padang, Topeng karya Asneli Luthan (1983) diterbitkan Balai Pustaka Jakarta; Perempuan dalam Perempuan (1995) karya Free Hearty, Nita indrawati Arifin, Inriani, Sastri Yunizar Bakry, dan Ivone de Fretes penerbit Forum Studi Wanita Tamening Padang; Jelaga Pusaka Tinggi (1997) karya Darman Moenir penerbit Angkasa Bandung. Kurangnya penerbitan cerpen dalam bentuk buku ini juga menyebabkan para cerpenis memilih berkarya melalui surat kabar.

            Bila diamati beberapa dari cerpenis di atas mengambil cerita yang berasal dari kehidupan sehari-hari atau bertolak dari realita. Ini jelas melihatkan akar budaya seni Minangkabau yaitu kaba. Cerita-cerita tersebut diolah dengan teknis dan bentuk yang beragam. Ini juga diakui A. A. Navis (Haluan, Senin, 14 Mei 1990) bahwa kreativitas sastrawan muda menulis hal-hal yang dekat dengan dirinya atau dengan lingkungannya.
            Kesemua cerpen-cerpen yang ditulis oleh cerpenis Sumatera Barat, ada beberapa bentuk yang menjadi perbedaan antara satu cerpen dengan cerpen lainnya. Bentuk-bentuk itu adalah bertolak dari realitas dan mitos atau peniadaan mitos dan gaya penulisan mitos yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang diyakini dan telah berakar kuat dalam masyarakat sehingga berpengaruh terhadap perilaku masyarakat tersebut (Hasanuddin WS, 1998). Gaya penulisan itu adalah cara pengarang memapar cerita seperti penggunaan alur secara konvesional, penggunaan gaya bahasa, dan teknik penyampaian reportase.
            Untuk melihat perbedaan tersebut di atas akan diambil contoh cerpen-cerpen yang dikarang oleh A. A. Navis dengan cerpen Datang dan Perginya dalam kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami (1966), Jodoh (mendapat hadiah Kincir Emas dari Radio Nederland Belanda tahun 1975), dan Malin Kundang, Ibunya Durhaka (dalam kumpulan cerpen Bianglala, 1990). Harris Effendi Tahar dengan cerpennya Kartino 2082 (Singgalang, 1983), Dari Paris (dalam Lampor kumpulan cerpen pilhan Kompas, 1994). Asneli Luthan dengan cerpennya Topeng, Penjara, dan Hantu (dalam kumpulan cerpen Topeng, 1983). Dasril Ahmad dengan cerpennya Debu, Pistol, Duri, dan Sampah (dalam kumpulan cerpen Debu, 1986). Darman Moenir dengan cerpennya Cuaca Mulai Berubah, dan Panorama Yang Lain (dalam kumpulan cerpen Jelaga Pusak Tinggi), dan Syarifuudin Arifin dengan cerpennya Gamang dan Hamil (dalam kumpulan cerpen Gamang, 1989).
            Keragaman bentuk dari cerpen-cerpen yang ditulis oleh cerpenis Sumatera Barat ini telah memperkaya khazanah sastra umumnya dan daerah khususnya. Diantara keragaman cerpen-cerpen tersebut ada tiga bentuk yang lain dari cerpen-cerpen yang dihasilkan ileh cerpenis Sumatera Barat. Hal ini terlihat pada A. A. Navis dan Harris Effendi Thahar dengan teknik pemutarbalikan/penghilangan mitos, flash back dan bahasa sindiran. Asneli Luthan dan Dasril Ahmad dengan bentuk absurd. Darman Moenir dan Syarifuddin Arifin dengan gaya reportase. Ini bukan berarti cerpenis yang adalah epigon dari tiga bentuk di atas.
            Keunikan cerpen A. A. Navis sebagaimana dikemukakan di atas adalah pemutarbalikan mitos dengan gaya flash Back dan bahasa sindiran. Ini jelas terlihat lewat cerpennya yang terkenal yaitu Robohnya Surau Kami, Yang Datang dan Yang Pergi, Jodoh, dan Malin Kundang, Ibunya Durhaka. Pada cerpen Robohnya Surau Kami telah meniadakan mitos yang ada saat ini. Mitos tersebut adalah bahwa seseorang yang dapat masuk sorga bila rajin beribadah terhadap Tuhan, walaupun tanpa memikirkan kehiduypan dunia. Dalam cerpen Yang Datang dan Yang Pergi juga peniadaan mitos pada masyarakat bahwa beristri banyak itu sangat diidamkan bagi semua pria, walaupun akan terjadi perkawinan anak dengan anak karena sudah tidak bisa lagi mengontrol keturunan dari banyak istri. Cerpen Jodoh meniadakan mitos peran mamak atau keluarga dalam menentukan jodoh. A. A. Navis memunculkan mitos baru bahwa perkawinan dan jodoh itu dapat ditentukan lewat kontak jodoh pada surat kabar. Pemutarbalikan mitos lainnya adalah pada cerpen Malin Kundang, Ibunya Durhaka. Di dalam cerpen ini telah dibuat mitos baru bahwa selama ini pendurhaka itu adalah Malin Kundang diganti oleh ibunya.
            Alur penceritaan flash back dengan gaya bahasa sindiran atau ironis. Perhatikan pembukaan cerpen berikut;
Bila jumlah wanita lebih banyak dari pria pada zaman lapangan kerja menyempit hingga pengangguran berlimpahan, tidak sulit memperoleh seorang gadis untuk dijadikan istri. Sebab masyarakat masih memandang mereka sebagai oknum yang menggelisahkan keluarga. Seolah perawan tua merupakan cacat hidup yang mengandung dosa keluarga … (Cerita Pendek Indonesia 1, Satyagraha Hoerip (ed.), 1986: 183).

dan penutupan cerpen

            Badri merangkul istrinya sambil tertawa.
Mereka sudah lama nikah dan kini telah punya dua orang bayi yang demikian rapat jarak kelahirannya … (Cerita Pendek Indonesia 1, Satyagraha Hoerip (ed.), 1986: 188).

Malin Kundang telah melambung namanya setelah banyak sastrawan ikut mendongengkan menurut keperluan dan imajinasinya masing-masing. Dari tokoh dongeng anak-anak telah menjelma menjadi tokoh yang dimitoskan orang dewasa (Bianglala, 1990: 115)

Malin Kudang meradang. Lalu berteriak hingga bumi bergerak, - Engkau perempuan laknat. Kalau benar kau ibuku, aku kutuk diriku agar menjadi baru. Biar semua orang tahu, Malin Kundang lahir dari perut yang keliru (Bianglala, 1990: 120)

            Harris Effendi Thahar hampir mirip namun bahasa sindirannya tidak setajam A. A. A. Navis. Ini terlihat pada cerpen Kartino 2082 (Singgalang) yang memutarbalikan kebiasaan wanita sebagai ibu rumah tangga digantikan oleh sang suami, dan cerpen Dari Paris (Kompas, 1993) meniadakan angan-angan seorang Bapak yang sudah pensiun.
            Keunikan Asneli Luthan adalah dan pembukaan cerpennya selalu dengan kejutan. Ini terlihat pada pembukaan dan penutupan cerpen Calon Suami (kumpulan cerpen Topeng). Pembukaan;

Saya benar-benar bigung. Tak tahu apa yang harus diperbuat. Mereka keterlaluan! Apa mereka pikir saya ini Kerbau atau Sapi. Diseret ke lapangan, diadu, diperah, dijual? Begitu? (Asneli Luthan, 1983:9).

Penutupan;

            Saudara sayang sekali. Semua ini tak pernah terjadi (Asneli Luthan, 1983: 13).

Pada cerpen Topeng dibuka sebagai berikut;

Tepat ketika dia masuk ke arena, permainan baru dimulai. Tapi serentak dengan itu, para pemain lainnya – yang entah berapa jumlahnya itu tidak jadi memulai (Asneli Luthan, 1983: 43).

Ditutup;

Sampai cerita ini ditulis, perempuan itu masih berteriak tiak hanya ke sana ke mari, tapi ke seantero dunia. Entahlah, sekali-sekali dia mendengar sayup-sayup – entah di mana, orang menjawabnya, kemudian hilang lagi.***

Catatan: perempuan dalam cerpen ini  isa juga dibaca sebagai laki-laki ataupun banci (Asneli Lutah, 1983: 52).

Kata-kata yang bermakna ganda ditemui dalam cerpen Penjara seperti kutipan berikut;

“Sebenarnya saudarasaudara tidak pantas memberikan reaksi seperti itu. Saudara-saudara tahu, saya lepas dari penjara itu bukan dengan muah an gampang. Bukan dengan cara begitu saja. Saya telah melalui ujian san cobaan-cobaan yang sangat berat. Untuk akhirnya saya putuskan keluar dari penjara itu. Itulah …”
Si Filsuf tiba-tiba angkat tangan dan langsung bicara.
“Saudara-adalah seorang yang dangkal dan kosong. Buktinya saudara sendiri tidak tahu bahwa ujian dan cobaan-cobaan itu sendiri adalah penjara. Ah, lebih baik saya tidak bicara dengan orang yang berotak udang,” katanya duduk kembali dengan wajah merah. (Asneli Luthan, 1983: 65).

Atau pada cerpen Hantu;

            Di luar kami duduk berkelompok. Kami berbincang lagi tentang hantu.
“Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba saja kulihat pak guru seperti hantu,” kata seorang teman.
“Kalau aku, kulihat hantu itu mengejar lewat otak, mulut dan perutnya,” sela Hasan terkekeh.
Dengan begitu, cerita hantu kami pun makin seru. Ditambah bumbu sana-sini, hantu itu makin seram (Asneli Luthan, 1983: 76).

            Keunikan Dasril Ahmad kelihatan pada pengungkapan ceritanya dengan kata-kata yang bermakna ganda (ambigu), suasana memikat, puitis dan satire. Terkadang lepas dari jangkauan logika. Penuh oerenungan dan sarat dengan makna dari setiap kata-katanya. Pemaparan cerita tidak konvesional tetapi kadang-kadang meloncat ke alam metafisika yang tidak terduga dari awal-awal ceritanya. Ini terlihat pada cerpen Pistol, Smpah, Debu, dan Duri. Pada awalnya cerpen ini mengangkat kata pistol, sampah, debu, dan duri sebagai benda, namun di tengah atau akhir cerita pembaca dibawa ke pikiran yang lain dari makna semula itu. Benda yang ada dalam pikiran pembaca tiba-tiba berubah maksud seperti;

Kini saya merasakan suatu perasaan aneh di ruangan itu. Karena mata saya liar menyapu segenap penjuru ruangan itu, kembali kesan semula saya peroleh yaitu debu-debu yang bertumpuk-tumpuk di sana-sini. Anehnya lagi, mata hati saya yang jeli sempat melihat debu-debu itu telah menembus kulit, tulang, daging, dan kemudian masuk ek otak kepala sekolah itu. Ketika saya melihat debu-debu itu siap pula menyerang saya, maka cepat-cepat saya tinggalkan ruangan itu (Dasril Ahmad, 1986: 29-30).

            Keunikan Darman Moenir dan Syarifuddin Arifin terlihat dalam cerpen Mulai Berubah dan Panorama yang lain (dalam kumpulan cerpen Jelaga Pusaka TinggI), merupakan cerpen yanmg bertemakan potret-potret kehidupan dah ditulis dengan teknik reportase. Kedua cerpen ini mencerita kehidupan keseharian bertetangga dan kehidupan bawahan dan atasan. Cerpen Cuaca Mulai Berubah mencerita tentang seorang pegawai rendahan yang tinggal di perumahan murah dan bertetangga dengan seorang pegawai pos. Konflik terjadi saat salah seorang memperbesar bangunan rumahnya sehingga timbul sengketa tentang perbatasan. Sedangkan, cerpen Panorama Yang Lain mencerita kejujuran seorang wali negeri yang ditipu oleh atasannya (camat atau bupati) terhadap uang bantuan untuk pembangunan desa sehingga tidak cukup lagi sampai ke tangannya untuk kelangsungan pembangunan desa. Begitu juga dengan cerpen Syarifuddin Arifin yang berjudul Hamil dan Gamang (dalam kumpulan cerpen Gamang).

            Perkembangan cerpen Sumatera Barat, sebagaimana yang disebutkan di atas adalah dari penulisan di surat kabar. Kemudian penerbitan sendiri dan penerbit lain. Kreativitas cerpenis Sumatera Barat baru berkembang di daerah dan hanya beberapa orang saja yang sampai ke tingkat nasional. Perkembangan cerpen Sumatera Barat ini kurang ditanggapi oleh kritikus dan pengamat sastra Sumatera Barat.
            Perkembangan tema-tema sesuai dengan keadaan kehidupan sosial yang ada datau bertolak dari realita. Bentuk penulisan cerpen-cerpen Sumatera Barat secara umum perkembangannya secara konvensional kemudian diikuti dengan perkembangan teknik penulisan seperti flash back, reportase, dan penggunaan bahas majas dan absurd.
            Perkembangan publikasi tetap saja pada surat kabar dan majalah serta masih dirasakan kurang penerbitan dalam bentuk buku. Pada saat ini cerpenis Sumatera Barat banyak yang memublikasikan cerpennya lewat surat kabar nasional.
            Akhirnya cerpen-cerpen yang dibicarakan ini tentulah belum menjadi barometer yang mutlak, sebab penelitian yang lengkap belum dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Selanjutnya tentu perlu penelitian yang lengkap. Terima kasih.

2 komentar:

  1. Aslm. Pak saya Suci mahasiswa Sastra Indonesia UI. Oh, ya Pak mohon bantuannya. Kalau saya mau mendapatkan karya-karya Asneli Luthan yang termuat di koran Semangat atau Singgalang, di mana saya bisa mendapatkannya? terima kasih


    BalasHapus
    Balasan
    1. coba cari di Pusat Dokumentasi HB Jassin di TIM (taman Ismail Marzuki) Jl. Cikini Raya Jakarta. Atau di Perpustakaan Negara Jl. Salemba. Kalau di Hariang Singgalang Padang juga bisa. Hubungi Bagian tata usaha hariang singgalang. kalau harian semangat mungkin tdk ada krn semenjak 1998 harian semangat sdh tutup
      kalau tidak ada kumpulan cerpennya yg duterbutkan dalam bentuk buku kumpulan cerpen.

      Hapus