Perbandingan
Tokoh Wanita Dalam Kaba dengan
Novel
Indonesia
Balai Pustaka
Drs.
Hermawan, M. Hum.
Pendahuluan
Topik ini
didasarkan oleh pemikiran bahwa antara kaba (sastra fiksi Minangkabau)
mempunyai pertalian yang erat dengan novel Indonesia modern pada zaman awal
penulisannya. Pertalian itu dihubungkan oleh unsur pengarang sebagai pencipta,
dan realitas objektif sebagai sumber penciptaan. Puncak novel Indonesia
modern sebagaimana diketahui pada umumnya ditulis oleh pengarang dari etnis
Minangkabau. Sehingga novel seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, dan
Tenggelamnya Kapal van der Wijk banyak sedikitnya dipengaruhi oleh sosio budaya
Minangkabau.
Asumsi dasar
sebelum ini secara umum selalu mengaitkan sastra Indonesia dengan sastra Melayu
sebagai akibat logis dari pencuatan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia.
Padahal kreativitas muncul dari unsur manusianya bukan bahasa yang digunakannya
sebagai alat, sehingga pengaitan sastra Indonesia dengan tradisi sastra
Minangkabau menjadi penting ditinjau dari sudut unsur manusianya ‘pengarang’.
Novel sebagai karya ekspresif berkaitan dengan tradisi sosio budaya yang
melatyarbelakanginya. Oleh sebab itu, kemungkinan lompatan kaba ke novel
lebih logis dibandingkan kemungkinan lompatan dari hikayat ke novel.
Perbandingan antara
kaba dengan novel sekaligus dapat juga dijadikan gambaran perubahan sosial di
tengah masyarakaty Minangkabau, perubahan pandangan dan pemikiran terhadap
sosio budaya Minangkabau. Perbandingan penokohan antara kaba dengan novel
diperkirakan akan memperlihatkan perubahan motivasi, pandangan hidup, prilaku,
kebijakan, dan pemikiran yang berkembang dalam masyarakat.
Beda penokohan kaba
dengan novel diperkirakan sebagaimana perbendaan antara pandangan orang Minang
yang masih Minang dengan orang Minang
yang telah mengindonesia. Penokohan kaba akan memperlihatkan
karakteristik ketokohan anggota masyarakat Minangkabau yang masih berintekraksi
sesamanya. Sedangkan penokohan novel akan memperlihatkan karakteristik
ketokohan anggota masyarakat Minangkabau yang telah berintekraksi secara bebas
dengan kelompok etnis lain.
Kerangka Berfikir
Istilah penokohan
dibedakan dengan perwatakan. Penokohan berhubungan dengan kondisi dan
karakteristik tokoh dalam kontek sosialnya terhadap tokoh dan unsur lain,
sedangkan perwatakan merupakan keselarasan unsur-unsur kedirian tokoh tersebut
tanpa dihubungkan dengan keserasiannya dengan tokoh dan unsur lainnya.
Perawatan suatu
tokoh hanya dilihat dalam keserasian kondisi pisik dengan kondisi psikis tokoh terebut. Kondisi pisik
tokoh meliputi penamaan, gelar, sapaan, keadaan tubuh, dan keadaan pakaian.
Kondisi psikis meliputi segala gejolak kejiwaan tokoh, seperti emosi, pikiran,
pandangan, angan-angan dan reaksi. Kondisi pisik dan kondisi psikis harus
saling tunjang menunjang dalam bentuk suatu perwatakan tokoh.
Kondisi pisik
tokoh pada umumnya relatif tetap, dan hanya terubah apabila terjadi perubahan
waktu atau perkembangan usia tokoh. Sedangkan kodisi psikis akan berubah
apabila terjadi pergantian waktu, tempat, tujuan penceritaan, dan terutama oleh
perubahan peran tokoh. Maka dalam diri seorang tokoh akan muncul keragaman
perwatakan akibat perubahan perannya. Perwatakan akan menjadi landasan
dari prilaku dan ucapan tokoh yang disesuaikan dengan perannya. Permasalahan fiksi pada hakekatnya muncul
akibat pertemuan antara peran doa orang tokoh – dapat pula dua kelompk
tokoh—yang bermula dari perwatakannya yang berbeda.
Penokohan
merupakan keserasian antara prilaku dan ucapan dengan peran dan permasalahan
fiksi. Setiap prilaku, ucapan, dan peran tokoh akan selalu terkait secara
berpasangan atau berlawanan dengan perilaku, ucapan dan peran tokoh
lainnya. Maka penokohan berharti kondisi
tokoh dalam interaksinya dengan tokoh lain.
Sehubungan dengan hal itu maka pembahasan tentang penokohan dan
perawatan sebenarnya harus dipilih berdasarkan peran tokoh tersebut. Setiap
tokoh cerita akan selalu
berubah-ubah peran dan akan mustahil hanya memerankan satu peran
saja Dengan kata lain tolak ukur tokoh utama atau tidaknya seorang tokoh
ditinjau dari sudut keragaman peranya.
Semankin banyak yang
diperankan seorang tokoh,
semankin penting tokoh tersebut dan ialah tokoh utama cerita..
Pembahasan tentang
tokoh wanita tidak dapat dilakukan tanpa penyorotan tokoh laki-laki. Penokohan
muncul atas dasar peran yang difungsikan pengarang kepada tokoh tersebut.
Pembicaraan peran hanya dapat dilakukan jika dihubungkan dengan pasangan ataun
lawan peran tersebut. Misalnya pembicaraan peran ibu tidak akan menonjol jika
tidak dikaitkan dengan peran anak sebagai lawannya atau dengan peran ayah
sebagai pasangannya. Oleh sebab itu, dalam pembicaraan tokoh wanita tetap
terkait dengan tokoh laki-laki.
Ragam Peran Kaba
Dari hasil penelitian
tiga buah kaba, yakni; Cindua Mato (CM), Anggun nan Tongga (ANT), dan Malin
Deman (MD) ditemukanlah bebarapa jenis peran tokoh yang dibedakan atas:
(a)
peran dalam keluarga inti yang
meliputi ibu, anak, kakak, adik, dan kemenakan (keponakan);
(b)
peran dalam keluarga luasan
yang meliputi ayah, mertua, menantu, suami, dan istri;
(c)
peran akibat hubungan keluarga
inti dengan keluarga luasan yang meliputi ipar dan besan; dan
(d)
peran dalam interaksi sosial
yang meliputi majikan, pembantu, pimpinan, bawahan, penghulu, ulama, guru,
murid, kekasih, sahabat, wali murid, tuan rumah, dan tamu.
Mengingat waktu dan kesempatan. Dalam hal ini peran-peran yang
melibatkan tokoh wanita dalam ketiga kaba hanyalah sebagai ibu, anak, kakak,
adik, dan istri. Dari peran-peran inilah akan disoroti perbandingan penokohan
antara kaba dengan novel. Novel yang dijadikan sampel pembandingnya adalah Siti
Nurbaya (SN), Salah Asuhan (SA), dan Tenggelamnya Kapal van der Wijk (TKW).
Perbandingan Penokohan
Kaba dengan Novel
Penokohan Wanita sebagai
Ibu
Dalam sistem
kekerabatan matrilineal di Minangkabau peran ibu menjadi peran sentral dari
peran-peran lainnya. Ketokohan ibu dalam masyarakat menjadi patokan bagi
keluarganya terutama anak-anaknya. Ibu simbol dari kekokohan suatu keluarga,
sekaligus ibu pencerminan dari raja dalam keluarga karena peran ibu berpengaruh
pula terhadap peran wanita lain dalam keluarga seperti saudara, istri, mertua,
dan menantu.
Perwatakan tokoh
wanita yang berperan sebagai ibu dalam kaba digambar seorang wanita yang
mempunyai wawasan untuk kebaikan keluarga dan kampungnya, mempunyai cita-cita
agar anggota keluarganya melebihi anggota keluarga lainnya dan mempunyai rasa
tanggung jawab terhadap kemajuan anggota keluarga dan masyarakat kampungnya.
Setelah seorang
anak lahir tanggung jawab terhadap anak yang diberikan orang tua ternyata dari
ibu bukan ayah. Hal ini meliputi usaha membesar anak, menyelenggarakan
pendidikan terhadap anak atau setidak-tidaknya mengusahakan pendidikannya. Hal
itu terutama pada tokoh wanita yang hidup di wilayah kampung halamannya. Sejak
kecil anak hanya mengenal ibunya, sedangkan ayah boleh dikatakan tidak hidup
bersama anaknya. Demikian halnya dengan tokoh wanita sebagai ibu seperti Suto
Sori, Amai Manah, dan Galinggang Layua (ANT) yang membesar anak-anak mereka
tanpa didampingi suami mereka. Sedangkan ayah telah meninggalkan istri dan
anaknya di saat anak belum lahir atau baru saja lahir. Sementara itu tokoh
Bundo Kambang Bandahari, Puti Bungsu, Lenggogeni, Puti Linduang Bulan (CM)
memang ada didampingi suaminya Cindua Mato, Dang Tuanku, dan Rajo Mudo, Bujang
Salamaik, tetapi sang ayah ini tidak pernah memperhatikan keadaan dan kebutuhan
anak-anaknya. Kenyataan seperti ini pulalah yang muncul dalam novel Salah
Asuhan dimana pendidikan dan kehidupan tokoh Hanafi dan Safei diupayakan dan
ditentukan oleh ibunya. Begitu pula dengan kehidupan tokoh Zainuddin (TKW) yang
dibesar dan dididik oleh keluarga ibunya.
Dalam kaba memang
ada pula ditemukan hanya hidup serumah antara ayah dan anak perempuannya, seperti
Katik Intan, Mangkudum Sati (ANT), Tiang Bungkuk (CM), latar kehidupan ini
benar-benar berada di luar daerah Minangkabau atau hidup di perantauan.
Sungguhpun ayah dan anak hidup serumah dengan anak perempuannya tanpa diketahui
bagaimana ibunya, tetapi ayah tidak pernah memperlihatkan perilaku yang
mengusahakan pendidikan dan kemaslahatan anaknya seperti Santan Batapih, Andami
Sutan (ANT). Hal ini sangat berbeda dengan ibu pada tokoh Suto Sori, Ameh
Manah, Galinggang Layua (ANT) Bundo Kanduang (CM), yang menentukan dan peduli dengan pendidikan
dan kehidupan anak-ananya di masa datang. Sungguhpun anaknya itu laki-laki, ibu
tetap peduli dan memegang kendali dan inisiatif terhadap sikap dan perilaku
anaknya.
Dalam novel (SN)
tokoh Siti Nurbaya hidup dan dibesarkan oleh ayahnya. Kehidupan ayah dan
anaknya walaupun tidak diperantauan atau di luar daerah Minangkabau, namun
masih dapat dipahami sebagai wilayah pesisir yang secara kultural diakui
wilayah rantau juga. Apakah tokoh Siti Nurbaya hidupnya dikendalikan dan
dipedulikan oleh ayahnya? Dia kawin dengan Datuak Maringgih bukanlah karena
terpaksa tetapi dengan sukarela. Baginda Sulaiman tidak memaksa anaknya kawin,
melainkan mengharapkan pertimbangan dan kerelaan Siti Nurbaya. Pada hakikatnya
begitu pula pelukisan tokoh wanita Corrie dalam (SA) yang jelas-jelas
disebutkan sebagai wanita keturunan Perancis, tetapi berprilaku sama dengan
tokoh-tokoh wanita lain.
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa ibu dapat mengendalikan kehidupan dan kepentingan
ananknya. Sedangkan ayah tidak dapat berbuat demikian apadfa anaknya. Anak
takluk dengan kepentingan ibunya tetapi tidak terhadap ayahnya. Baik pada kaba
maupun novel jelas sekali bahwa ibu berperan dalam menetapkan norma-norma
kehidupan bagi anak-anaknya, sedangkan ayah tidak mempunyai inisiatif sama
sekali untuk kebutuhan anaknya dan membela kepentingan anaknya. Ibu
mengendalikan perilaku kehidupan anak-anaknya, sekaligus menetapkan pula
imbalan dan ganjaran bagi anak-anaknya. Maka baik atau buruknya kehidupan anak
ditentukan oleh ibunya atau olehnya sendiri jika ia tidak beribu, dan bukan
oleh ayahnya. Sehubungan dengan ayah pada sebagian besar tokoh tidak hidup
bersama anak-anaknya, maka praktis kebutuhan metrial dan moral anak diusahakan
dan dipenuhi sendiri oleh ibunya.
Seorang ibu dalam
mengupayakan cita-cita dan harapannya terhadap anaknya mempunyai beberapa
tanggung jawab yang dilakukannya. Tanggung jawab utama adalah mendidik anak
dengan bermacam pengatahuan dan keterampilan yang dikuasainya. Ibu sebagai pendidik
tidak hanya terbatas menyangkut pengetahuan dan keterampilan dalam lingkungan
rumah tangga. Tokoh ibu dalam kaba ANT menguasai semua keterampilan yang
biasanya dikuasai para lelaki, seperti pengetahuan adat, agama, keterampilan
bela diri, bercatur, berkuda, dan lain-lain. Pendidikan anak sepenuhnya
tanggung jawab dari ibu, maka dengan demikian tokoh wanita dalam kaba dapat
pula dinyatakan sebagai tokoh serba bisa.
Tugas mendidik anak
pada hakikatnya adalah tugas dan tanggung jawab ibu dan bukan ayah. Dalam kaba
CM dan MD, Bundo Kanduang dan Rangkayo
juga berperan seperti itu, meskipun ia tidak melakukannya sendiri namun ia
mencarikan guru untuk anaknya. Inisiatif ibu terlihat dari usaha untuk
memajukan anak seperti pendidikan yang diminati anak, memberikan pertimbangan
terhadap bidang pendidikan yang baik, mengupayakan bekal pendidikan anak,
mencarikan guru yang tepat dalam bidang yang dipilih anak, dan mengantarkan
anak ke tempat perguruan. Sementara itu ayah hanya merestui saja hasil
kesepakatan antara ibu dan anak. Bukankah hal yang sama terdapat juga dalam
novel SA di mana tokoh Hanafi berinisiatif mengupayakan pendidikannya anaknya.
Tokoh Rafiah sungguhpun telah mengalami kegetiran hidup dirinya dengan Hanafi
masih tetap bertekad membesarkan dan mendidik anaknya Syafei dengan caranya
sendiri.
Tokoh wanita yang
berperan sebagai ibu terkesan sebagai wanita yang ambisius dalam menegakkan
eksistensi dirinya sebagai penguasa rumah gadang. Ia berusaha
membekali anaknya agar dirinya tidak dianggap sebagai wanita yang tidak mampu
mengendalikan isi rumah gadang. Tujuan akhir adalah agar anak itu
dapat melancarkan keinginannya dan menjaga keluarga agar tidak memalukan di
mata orang lain. Seorang ibu akan bersikap welas asih, lembut, luwes, dan
menghargai anak, jika anak itu menjadi orng yang terpandang di masyarakat dan
tidak pulang ke rumah membawa malu. Seandainya anak pulang ke rumah dengan
kegagalan dan kekurangan, akan disambut ibu dengan bengis, garang, dan
memberikan hukuman dengan tegas tanpa memperhitungkan resiko terhadap anaknya
tersebut. Demikianlah perlakuan tokoh Suto Sori terhadap Anggun nan Tongga
dielu-elukan yang berhasil membawa mamak-mamaknya pulang dari rantau.
Sebaliknya Anggun nan Tongga dicaci-maki dan diusir di saat pulang dari gelanggang
keramaian dengan membawa malu ke rumah. Begitu juga dengan Bundo Kanduang
terhadap Cindua Mato yang melarikan Puti Bungsu dengan menunggang kuda dari
Sungai Ngiang ke Pagaruyuang.
Dari penjelasan di
atas maka terlihatlah bahwa keinginan ibu agar anaknya menjadi orang yang
terkemuka dalam masyarakat. Ibu tidak menginginkan anaknya kalah dari anak
orang lain Kekurangan seseorang dari orang lain merupakan malu ibu daripada
malu anaknya sendiri. Oleh sebab itu, seorang ibu akan berupaya sewewenang dan sekemampuan
yang dimilikinya, mulai dari cara yang demokratis sampai kepada cara yang
otokratis.
Berdasarkan uraian
di atas maka dapat disimpulkan bahwa ayah hanyalah pelengkap kehidupan rumah
tangga, sedangkan pemegang peran utama adalah ibu. Ayah hanyalah simbol bagi
ibu bahwa anaknya ada mempunyai ayang yang syah, sehingga ayah tidak berfungsi
sebagaimana lazimnya orang tua bagi anaknya seperti saat ini. Maka dalam kaba
wanita terutama yang berperan sebagai ibu menjadi tokoh sentral yang mempunyai
idealisme, mandiri, penuh tanggung jawab, dan mempunyai sifat kepemimpinan,
walaupun kadangkala terkesan ambisius dan sadis. Sebalikya laki-laki yang
berperan sebagai ayah tergambar sebagai tokoh yang tidak punya inisiatif,
lemah, dan tidak peduli dengan kehidupan keluarganya. Tokoh perempuan mempunyai
rasa sosial, toleran dan bersifat dinamis walau hanya kepada anggota
keluarganya, sedangkan laki-laki merupakan tokoh yang tersisih dan lebih
bersifat statis di dalam keluarganya. Wanita merupakan tokoh yang tegar, mandiri,
aktif, dan dinamis di lingkungan keluarganya, sebaliknya laki-laki merupakan
tokoh yang lemah, pasif, statis, dan hidup di bawah- bayang-bayang wanita.
Penokohan wanita sebagai
anak
Usaha mengenali
tokoh wanita sebagai anak baru terlihat nyata jika dibandingkn pula dengan
laki-laki sebagai anak tentang sikap dan perilakunya di saat berhadapan dengan
ibu dan ayahnya. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa orang tua yang dekat
dengan anaknya adalah ibu, baik terhadap anak wanita maupun terhadap anak
laki-laki. Sehingga anak berada dalm pengaruh dan kendali ibunya, dan secara
psikis anak tidak terkait dengan ayahnya.
Persamaan antara
anak wanita dengan anak laki-laki adalah sama-sama takluk dan menghamba pada
ibunya. Konflik antara anak dengan ibu jarang terjadi, sebaliknya konflik
antara anak dengan ayahnya sering terjadi. Tokoh Puti Bungsu berani menyalahkan
perilaku ayahnya Rajo Mudo yang semula menjodohkan Puti Bungsu dengan Dang
Tuanku kemudian merencanakan mengawinkan Puti Bungsu dengan Rajo Imbang Jayo.
Puti Bungsu rela lari dengan Cindua Mato saat akad nikah akan dilangsungkan.
Perbedaan antara
tokoh wanita dengan laki-laki sebagai anak adalah jika anak wanita tidak berani
sedikitpun membantah ibunya, maka anak laki-laki akan
melakukan
bantahan walaupun ia akan
gagal. Anak laki-laki akan berusaha
membela diri dengan kebenaran yang diyakininya. Sedangkan anak wnita hanya
menerima salah dan pasrah terhadap ibunya. Perbandingan yang menyolok dalam hal
ini adalah Siti Darma menerima pasrah keingan ibunya Siti Jamilah yang hendak
membunuh dirinya. Sebaliknya Asamsudin berusaha membantah dan menghindar
terhadap kemauan Siti Jamilah yang hendak membunuh dirinya.
Dalam novel
perbedaan prilaku anak laki-laki dan wanita ini juga menunjukan hal yang sama
dengan prilaku dalam kaba. Tokoh Hayati ( TKW ) dan Rafiah ( SA ) tidak berani
membantah keinginan ibu mereka yang memaksa kawin dengan pemuda yang tidak
dicintai mereka tokoh Aziz ( TKW ) dan
tokoh Anafi berusaha dulu membantah keinginan ibunya yang memaksa kawin dengan
tokoh Rafiah wanita yang tidak disukainya walaupun pada akhirnya ia gagal juga
menetang kehendak ibunya ( SA ).
Perbedaan sikap
dan prilaku tokoh wanita sebagai anak dengan sikap dan prilaku tokoh laki-laki dapat
disimpulkan bahwa tokoh wanita akan sangat setia, patuh dan pasrah
terhadap kehendak ibunya, sebaliknya
tokoh laki-laki akan bersikap korek dan mengalah kepada ibunya. Akan tetapi
jika berhadapan dengan ayah, tidak ada perbedaan antara tokoh wanita dengan
tokoh laki-laki, keduanya sama-sama
bebas dan leluasa terhadap ayah mereka. Kenyataan ini baik pada kaba maupun
pada novel. Kemerdekaan anak itu
terlihat juga pada dasarnya dalam diri tokoh Siti Nurbaya ( SN ).Andam Sutan,
Santan Batapih ( ANT ). Perbedaan ini
muncul karena tokoh wanita dalam kepatuhannya terhadap ibunya berdasarkan
semata-mata dengan perasaan. Sedangkan tokoh laki-laki kepatuhan terhadap
ibunya didasarkan pikiran dan perasaan. Pikiran menyebabkan ia mencoba membantah, sedangkan perasaanya mengakibakan
ia mengalah. Sementara itu jika ia berhubungan dengan ayah tidak ada ikatan
emosional yang bersumber dari perasaan. Hubungan dengan ayah semata-mata berdasarkan pertimbang rasional.
Sebagai
dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa ibu adalah penguasa rumah tangga. Sesuai dengan fitrahnya yang terbatas secara
pisik, maka ia membagi tugas kepada anak-anaknya dalam arti anak adalah
pelaksana kemaun ibu. Anak merupakan
perpanjangan tangan dari ibunya, baik anak wanita maupun anak laki-laki.
Perbedaan pembagian tugas antara wanita dan laki-laki adalah jika anak wanita
pelaksana dalam lingkungan rumah tangga, maka anak laki-laki
merupakan pelaksana keingan ibu di luar ramah gadang .
Berdasarkan peran anak maka terlihat dalam kaba bahwa tokoh wanita merupakan
pelaksana kesemarakan keluarga di mata orang lain, sedangkan tokoh laki-laki
sebagai benteng keluarga dari ancaman
orang lain. Prilaku anak baik laki-laki
maupun perempuan adalah untuk
mengokohkan eksistensi ibu sebagai penguasa rumah tangga .
Pembagian tugas
antara anak laki-laki dan wanita yang dibiasakan ibunya sejak kecil ini akan
berpengaruh terhadap sikap dan perilaku mereka dalam peran-peran lainnya.
Seperti anak wanita satu saat akan menjelma sebagai ibu atau istri yang
berkuasa dalam keluarganya, sementara
anak laki-laki akan tetap sebagai orang yang asing dalam lingkungan rumah
sungguhpun ia telah menjadi suami dan ayah nantinya. Dasar ini
menyebabkan berlangsungnya budaya merantau bagi anak laki-laki tetapi tetap
terikat dengan ibunya dan dalam
perwujutan lebih luas terikat kepada kampung halamannya.
Tokoh wanita
menguasai rumah sepenuhnya
sementara pengarunya di luar
rumah tersalurkan melalui anak atau saudara laki-lakinya. Sebaliknya tokoh
laki-laki menguasai kehidupan di luar
rumah namun pengaruhnya tidak ada dalam lingkungan rumah. Keperkasaan tokoh
Anggun Nan Tungga di gelanggang keramaian dan negeri orang tidak ada artinya
jika berhadapan dengan tokoh Suto Sori
(ANT), begitu pula dengan tokoh
Cindua Mato yang tidak berdaya di hadapan Bundo Kanduang (CM), tokoh Malin Deman di hadapan Mandeh Rubiah (MD). Dalam kaba tokoh
laki-laki berada di bawah bayang-bayang
wanita, baik wanita itu ibunya maupun
saudara perempuannya bahkan akan
terbiasa pula di hadapan istrinya.
Agaknya demikian pulalah yang
berlangsung terhadap tokoh laki-laki dalam novel seperti tokoh Samsul Bahri, Bagindo Sulaiman dan Datuak Maringgih tidak
dapat memaksa keinginannya terhadap tokoh Siti Nurbaya ( SN ) ; tokoh Hanafi terhadap ibunya, Rafiah dan
Corrie; tokoh Datuak Batuah terhadap
saudaranya Ibu Hanafi ( SA ); tokoh Zainuddin dan Aziz terhadap Hayati (TKW ).
Penokohan Wanita sebagai
Saudara
Penokohan wanita dalam peran
saudara dapat ditinjau dalam hubungannya dengan sudara wanita, dan dalam
hubungannya dengan saudara laki-laki. Penokohan wanita sebagai saudara
merupakan duplikat ibu jika ibu tidak ada dalam hal hubungannya dengan saudara
laki-lakinya dan adik perempuannya. Sikap, perilaku, dan pandangan tokoh wanita
yang identik dengan ibu itu terlihat pada tokoh Puti Ranik Jintan yang
menasihati dan memberi pertimbangan terhadap keinginan kakak laki-lakinya Rajo
Imbang Jayo yang hendak menuntut balas atas kematian bapaknya Tiang Bungkuk.
Begitu juga Puti Bungsu dengan Cindua Mato ketika menggagalkan pesta pernikahan
Puti Bungsu dengan Rajo Imbang Jayo (CM). Pada tokoh Ganto Pomai yang memberi
tanggung jawab kepada adiknya Suto Sori (ANT).
Dalam novel
terdapat pula aaspek penokohan yang sama dalam hubungan persaudaraan ini. Tokoh
Datuak Batuah dengan sukarela membantu adiknya Ibu Hanafi menyekolahkan Hanafi,
walaupun dikemudian hari Datuak Batuah menagih janji untuk mengawinkan anaknya
Rafiah dengan Hanafi. Janji yang sulit untuk ditepati oleh Ibu Hanafi tidak
membuatnya menentang tetapi hanya meninggalkan adknya dengan merajuk (SA). Hal
ini menunjukkan bahwa tidak ada penentangan terbuka dari tokoh laki-laki
terhadap saudara perempuannya. Dengan demikian kecenderungan tokoh wanita
sebagai saudara akan identik sikap, watak, dan perilakunya dengan tokoh wanita
sebagai ibu, baik dalam kaba maupun dalam novel.
Perbedaan penokohan
wanita sebagai ibu dengan saudara adalah tingkat kesetiaan, ketoleranan tokoh
laki-laki terhadap dirinya. Tokoh laki-laki sebagai anak akan lebih sukarela
membantu ibunya dalam situasi diminta ataupun tidak. Akan tetapi, tooh
laki-laki sebagai saudara baru akan memberikan bantuan saudara perempuannya
jika itu telah diminta. Sebaliknya tokoh wanita sebagai saudara baru akan
memotivasi, mengarahkan, ataupun membantu saudara laki-lakinya jika suatu
masalah telah menyinggung martabatnya. Demikianlah yang terlihat pada tokoh
Suto Sori yang baru memerintahkan anaknya Anggun nan Tongga untuk mencari dan
menyelamatkan saudaranya Mangkudum Sati, Nangkodo Rajo, dan Katik Intan,
setelah nasib ketiga saudaranya telah diketahui masyarakat banyak. Padahal
sebelum itu ia tidak ada terniat dan berfikir untuk mencari ketiga saudaranya
itu (ANT).
Penokohan Wanita sebagai
Istri
Penokohan wanita
sebagai istri cenderung egois karena pada hakikatnya laki-laki sebagai suami
tidak diperlukan oleh wanita. Dalam kaba maupun novel terlihat bahwa tokoh
wanita banyak hidup sendiri setelah mendapatkan anak dari suaminya. Misalnya
tokoh Ameh Manah tidak mempedulikan nasib suaminya Nangkodo Rajo, ia merasa
puas hidup berdua dengan anaknya Gondoriah; tokkoh Galinggang Layua tidak
mempermasalahkan suaminya yang bertapa dan tidak pulang-pulang, ia pun puas
hidup bersama anaknya Katik Alamsudin; tokoh Andami Sutan membiarkan suaminya
Anggun nan Tongga pulang kampung meninggalkan dirinya karena ia telah
mendapatkan anak Mandugo Ombak. Bahkan tokoh Suto Sori tidak merasa perlu untuk
bersuami karena ia telah mendapatkan Anggun nan Tongga anak dari peninggalan
kakak perempuannya Ganto Pomai (ANT).
Demikian pula dengan tokoh-tokoh wanita dalam novel,
seperti Ibu Hanafi yang tidak mengeluhkan ketiadaan suami dalam hal mendidik
dan membesarkan anaknya Hanafi; tokon Rafiah tidak perlu menghiraukan kepergian
Hanafi dan bertekad sepenuhnya untuk mendidik dan membesarkan anaknya Syafei
tanpa suami (SA); dan tokoh Hayati yang berusaha mencari dan merayu Zainuddin
(TKW).
Tokoh wanita hanya memerlukan laki-laki sebelum ia
mendapatkan anak. Untuk maksud itu adakalanya tokoh wanita bertindak di luar
batas-batas norma, misalnya bersedia merebut suami orang yang dianggap
terpandang sebagaimana Puti Lenggogeni yang mau saja dikawinkan dengan Cindua
Mato meskipun Cindua Mato sudah beristri. Dalam novel tokoh Corrie yang terpelajar
masih bersedia menerima Hanafi yang secara formal masih suami Rafiah (SA).
Agaknya ini pulalah penyebab tokoh Siti Nurbaya (SN) dan Hayati (TKW) tetap
berusaha mencari laki-laki bekas kekasihnya karena belum mendapatkan anak dari
suami sebelumnya.
Dengan demikian tokoh wanita dalam kaba dan novel perode
Balai Pustaka secara psikologis adalah laki-laki. Hanya secara fisiologis ia
tetap wanita. Wanita tidak memerlukan laki-laki sebagai tempat berlindung untuk
kebutuhan hidupnya. Tokoh wanita mampu berdiri di atas kemampuan dan kenyataan
hidupnya sendiri. Ia tidak akan mengemis untuk mendapatkan harta kekayaan,
karena ia memang telah menguasainya. Jika ia berkekurangan ia hanya akan
memanfaatkan anak dan saudara laki-lakinya.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas maka dapatlah dipetik kesimpulan
tentang penokohan wanita, baik dalam perbandingannya dengan penokohan laki-laki
maupun gambaran penokohan wanita itu sendiri.
1)
Penokohan wanita dalam kaba dan
novel periode Balai Pustaka terpusat pada perannya sebagai ibu. Sehingga sikap
dan perilaku wanita dalam berbagai peran –anak, saudara, istri- identik dengan
kedudukan dan fungsi ibu.
2)
Penokohan laki-laki dalam kaba
dan novel periode Balai Pustaka terpusat pada perannya sebagai anak. Sikap dan
perilaku laki-laki dalam berbagai peran –saudara, suami, istri- identik dengan
kedudukan dan fungsi sebagai anak.
3)
Secara fungsional hubungan
antar peran yang melibatkan antara tokoh wanita dan laki-laki akan identik
sebagaimana hubungan ibu dan anak. Tokoh wanita selalu berada dalam posisi “di
atas angin” baik dalam hubungan suami-istri maupun persaudaraan.
4)
Tokoh wanita menunjukkan ciri
idealis, pengendali, pendidik, kreatif, dinamis, aktif, penguasa, tegar,
pantang kalah dan juga ambisius terhadap anggota keluarganya. Sedangkan tokoh
laki-laki memperlihatkan ciri-ciri pasif, statis, pasrah, suka mengalah, lemah,
dan lugu terhadap anggota keluarganya. Laki-laki baru bersifat dan berprilaku
positif setelah ia berhadapan dengan orang lain.
5)
Perkembangan kaba dan novel
yang ditulis oleh pengarang-pengarang etnis Minangkabau sebenarnya tidak
mencerminkan emansipasi wanita, melainkan pergelutan tokoh laki-laki dalam
usahanya melepaskan diri dari cengkraman wanita.
.
Daftar Pustaka
Asri, Yasnur. 1996. Orientasi Nilai Budaya Tokoh Wanita Dalam
Novel Indonesia.
Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Endah, Syamsuddin St. R. 1982. Cindua
Mato. Bukittingi: Pustaka Indonesia
Hamka. 1982. Tenggelamnya
Kapal van der Wijck. Jakarta:
Balai Pustaka
Hermawan. 1998.
“Profil Wanita dalam Kaba: Suatu Tinjauan Sosiolgi Sastra”. Tesis S2
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Mahkota, Ambas. 1982. Anggun
nan Tungga. Bukittinggi: Pustaka Indonesia
Manggis, Rasyid. 1984. Malin
Deman. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Muhardi. 1998. “Dari Kaba ke Novel”.
dalam Mursal Esten (ed). Menjelang Teori
dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan. Bandung: Angkasa.
---------- Dan Hassnuddin WS. 1990.
Prosedur Analisis Fiksi. Padang: FPBS IKIP Padang
Muis, Abdul. 1988. Salah
Asuhan. Jakarta:
Balai Pustaka
Rusli, Marah. 1987. Siti
Nurbaya. Jakarta:
Balai Pustaka
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar