Hidup harus dijalani Kita jangan memikirkan hidup karena hidup tidak pernah memikirkan Kita
PERAN WANITA DALAM KABA
Drs. Hermawan
ABSTRACT
This research exposes woman
profile derives in Minangkabau Kaba as one of traditional literature works of
Minangkabau. The aim to exposes woman profile derives from an idea that woman
in Minangkabau have vital role because its social system is matrilineal and
literature work is a reflection of its social life. Therefore, woman profile is
also expressed in the Kaba.
To respond the above paradigm,
the researcher choose the Kaba with the following samples: (1) Cindua Mato Kaba
of M. Yusuf's philologic work under title 'Transliteration Problem and Story
Edition of Tuanku Nan Muda Pagaruyung (Cindua Mato Kaba)', (2) Anggun Nan
Tungga Kaba of Ambas Mahkota's work, (3) Malin Deman Kaba of Nurizzati's
philologic work under title 'Malin Deman Raba: A Philologic Study'. This
choice is based upon a consideration that the above three Kaba can be said as a
representative to illustrate or to represent the .existing Minangkabau Kabas.
The kabas which are taken as samples of this research are still sung orally and
printed many times up to now in the form of publication.
To achieve the aim of this
research, some approaches of literature sociology and psychology are used. A
Kaba as a literature work is regarded as a 'reflection' of society; and
therefore what is expressed through the kaba can not be rid of social condition
as its background..
Based on the above theory, the
result of this research shows that woman roles in family as a wife, mother,
child, older sister, younger sister, and grandmother. In society, a woman
roles as a leader of family and member of society such as household servant,
birth shaman, businesswoman or manager of flower garden, foster mother,
clothes drier, or local pastoralist. Woman profile in the Kaba has a close
connection with individual personally of society according to Minangkabau
social system. Moreover, woman in the Kaba role in giving initiation or
inauguration to members of Minangkabau society.
Key words: kaba - woman profile
Pendahuluan
Peran wanita Indonesia pada
saat ini dapat digambarkan sebagai manusia yang harus hidup dalam situasi
dilematis. Maksudnya di satu sisi wanita Indonesia dituntut untuk berperan
dalam semua sektor, tetapi di sisi lain muncul pula tuntutan lain agar wanita
tidak melupakan kodratnya sebagai wanita. Misalnya wanita Indonesia yang
berkarir. Wanita karir ini, di satu sisi merasa terpanggil untuk
mendarmabaktikan bakat dan keahliannya bagi perkembangan bangsa dan negara Indonesia. Di
sisi lain mereka dihantui oleh opini yang ada dalam masyarakat yang melihat
bahwa wanita karir/ibu karir sebagai salah satu sumber ketidakberhasilan
pendidikan anaknya dan yang sangat memprihatinkan adalah opini di kalangan masyarakat
yang melihat bahwa wanita karir adalah "pengganggu suami orang lain"
(Soetrisno, dalam Ridjal, 1993: 108).
Menurut
Armini (1986: 45) wanita pekerja tercitra sebagai wanita yang berada dalam situasi
ambivalen atau berwajah ganda. Di satu sisi wanita pekerja ingin memupus
anggapan bahwa tugas utama wanita adalah di sektor domestik, tetapi di sisi
lain anggapan itu dikokohkan. Kemudian di satu sisi wanita pekerja ingin
mengubah pandangan kedudukan wanita tidak setara dengan pria, tetapi di sisi
lain wanita justru bertindak sebaliknya.
Lebih lanjut
diungkapkan Lukman Soetrisno bahwa terjadinya dilematis wanita Indonesia
tersebut disebab oleh pertama, bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang
pluralistik dari segi etnik dan kebudayaannya; kedua, situasi dilematis yang
saat ini dihadapi oleh wanita Indonesia merupakan hasil dari suatu proses
interaksi dari berbagai faktor sosial dan politik yang berkembang di negara
Indonesia; tiga, adanya pluralisme etnik dan kebudayaan itu maka tidak mungkin
secara adhock membuat suatu pendapat yang mengeneralisir bahwa wanita Indonesia
sejak semula memiliki kedudukan yang rendah tanpa mempelajari kedudukan wanita
dalam konteks kebudayaan dari masingmasing suku bangsa yang di bumi nusantara
ini. Wanita Minangkabau tidak dapat disangkal lagi memiliki kedudukan yang
sederajat dengan lelaki bahwa dalam kebudayaan Minangkabau wanita justru
mempunyai kedudukan yang jauh lebih tinggi dari pada kaum lelaki karena mereka
dianggap penjaga dari harta pusaka keluarga (Soetrisno dalam Ridjal, 1993:
108).
Masyarakat
Minangkabau memiliki keunikan bila dibanding dengan masyarakat kultur lainnya
di Indonesia.
Keunikan ini disebabkan oleh paham matrilineal yang dianut oleh masyarakat
Minangkabau yang mengambil garis keturunan menurut garis ibu. Dengan paham yang
dianutnya ini, peranan dan kedudukan wanita menjadi lebih panting di dalam
kehidupan masyarakat Minangkabau (Asri, 1996: 3). Pentingnya posisi wanita
dalam keluarga juga diungkapkan oleh Holleman dan Vreede-De Stuers (dalam Baried,
1994: 6) yang mengatakan bahwa wanita dalam sistem matrilineal, yaitu menurut
garis keturunan ibu, kedudukan wanita panting karena di tangannyalah kehidupan
keturunan tergantung. Dalam sistem ini pihak wanita adalah memegang keputusan
dan berwenang menentukan kebijaksanaan. Untuk melihat bagaimana peranan dan
kedudukan wanita Minangkabau dalam kehidupan masyarakat dengan konsepsi budaya
adatnya akan dilakukan penelitian melalui karya sastranya yaitu kaba.
Kaba, salah
satu karya sastra tradisional Minangkabau, secara langsung atau tidak tentu
akan memberikan gambaran tentang kultur ;Minangkabau termasuk wanita dan segala
aspek kehidupannya. Ini sesuai dengan pendapat Damono (1979: 1) yaitu bahwa
karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, 'dipahami, dan
dimanfaatkan oleh masyarakat. Sejalan dengan itu, H.B. Jassin (1983: 4)
mengemukakan bahwa karya sastra selalu menarik perhatian karena mengungkapkan
penghayatan manusia yang paling dalam, dalam perjalanan hidupnya di segala
zaman dan di segala tempat di dunia ini. Melalui karya sastra sebagai basil
kesenian, kita memasuki dunia pengalaman bangsa dan bangsa-bangsa dalam sejarah
dan masyarakatnya, menyelami apa yang pernah dipikirkan dan dirasakan dan
dengan demikian menambah kearifan dan kebijaksanaan dalam kehidupan.
Menurut
Soeratno (1994: 14) sastra dipahami sebagai sarana "penghibur duka
lara", sebagai pembawa rasa tenang, sebagai "pelipur hati bagi yang
memendam cinta berahi", sebagai "perintang-perintang waktu",
sebagai dokumen penyaji informasi masa lampau, sebagai legitimasi suatu
kekuasaan, sebagai penyangga pranata sosial, sebagai pembawa ajaran moral, baik
dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan masyarakat, dan sebagai
pencerdas bangsa.
Kaba sama dengan `kabar' (Junus, 1984a: 17; Navis, 1986: 243) sehingga
juga berarti `berita'. Sebagai istilah ia menunjuk suatu jenis sastra
tradisional lisan Minangkabau yang diceritakan oleh seorang tukang kaba dengan
diiringi saluang, rebab, dan alat musik lainnya atau melalui pertunjukan
randai. Kaba berbentuk prosa liris. Bentuk ini tetap dipertahankan bila
diterbitkan dalam bentuk buku. Kesatuannya bukan pada kalimat dan bukan pada
baris. Kesatuannya ialah pengucapan dengan panjang tertentu yang terdiri dari
dua bagian yang berimbang.
Sesuai dengan
hakikatnya sebagai fiksi, cerita kaba mengungkapkan pelbagai masalah kehidupan
manusia dengan keunikan penyampaian yang spesifik. Penyampaian yang terjadi
padu akan melukiskan kehidupan masyarakat Minangkabau yang kompleks dan dapat
menyampaikan pesan sebaik-baiknya kepada masyarakat pembaca (Udin. 1982: 99).
Kaba sebagai
bentuk karya sastra dari satu sisi dapat berfungsi sebagai "cermin dari
masyarakat", Ini sesuai dengan konsep Alan Singewood yang
menyatakan sastra adalah cermin masyarakat, atau cermin suatu zaman atau sastra
adalah refleksi atau refraksi sosial (dalam Damono, 1979: 4; Junus, 1934: 57).
Beberapa
pemikiran semacam itulah yang menjadi faktor pendorong untuk meneliti peran wanita
dalam kaba Minangkabau dan hubungannya dengan keadaan yang ada dalam
masyarakat Minangkabau sesuai dengan sistem dan adat yang dianut. Dengan
penelitian ini, diharapkan beberapa hal yang menyangkut peran dan perilaku
wanita Minangkabau dapat dikenali dan diidentifikasikan. Pada tahap selanjutnya
diharapkan akan dapat memberikan masukan-masukan positif dalam pengembangan
kebudayaan nasional pada umumnya, pengembangan kesusasteraan daerah khususnya.
Penelitian
ini mempergunakan kaba yang representatif yaitu; (1) kaba Cindua Mato (CM) yang
diangkat dari basil penelitian filologis M. Yusuf dengan judul "Persoalan
Transliterasi dan Edisi Hikayat Tuanku Nan Muda Pagaruyung (Kaba Cindua Mato)
"; (2) kaba Anggun nan Tungga (ANT) karya Ambas Mahkota; (3) kaba Malin
Deman (MD) dari kajian filologis Nurizzati dengan judul "Kaba
Malin Deman sebuah Kajian Filologis".
Pendekatan
Teoritis
Penelitian peran wanita dalam kaba Minangkabau ini dilakukan dengan
memanfaatkan teori yang memadai. Teori yang memadai tersebut adalah teori yang
dapat mengungkapkan dan menjawab permasalahan yang dirumuskan di atas. Teori Yang dapat mengungkapkan
tentang permasalahan di atas adalah sosiologi sastra, karena sejak semula
penelitian ini sudah membicarakan tentang sosiologi sastra.
Dengan
sosiologi sastra ada dua hal yang tercakup, yakni "sosiologi" dan
"sastra". Weber (dalam Susanto, 1983: 2) mengatakan bahwa sosiologi
adalah cabang ilmu yang mengerti, dan menjelaskan tindak tanduk sosial manusia yang mempunyai pengaruh terhadap
masyarakat. Tindakan sosial adalah tindakan yang oleh individu dimaksudkan
untuk mempunyai pengaruh terhadap tindakan, dan sikap orang lain, dan bahwa
faktor lain itu diperhitungkan dalam tindakan semulanya. Ada pun objek materi sosiologi ialah
kehidupan sosial manusia, dan gejala suatu proses hubungan yang mempengaruhi kesatuan
hidup (Susanto, 1983: 4).
Sejalan
dengan itu Damono (1979: 7) menyatakan bahwa sosiologi adalah telaah yang
obyektif dan ilmiah tentang manusia dan masyarakat; telaah tentang lembaga dan
proses sosial. Sementara itu, sastra juga berurusan dengan manusia dalam
masyarakat; usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan juga usahanya untuk
mengubah masyarakat itu. Oleh sebab itu, sesungguhnya sosiologi dan sastra
berbagi hal yang sama. Perbedaannya adalah bahwa sosiologi melakukan analisis
ilmiah dan objektif, sedangkan novel (sastra) menyusup menembus permukaan
kehidupan sosial dan memperlihatkan cara-cara manusia menghayati masyarakat
dengan perasaannya (Damono, 19789: 8).
Junus (19846:
3-5) membahas teori tentang karya sastra sebagai dokumen sosio-budaya. Dalam
hal ini, sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya yang mencatat kenyataan
sosio-budaya atau masyarakat pada masa tertentu. Pendekatan ini hanya tertarik
pada unsur-unsur sosiobudaya yang terdapat dalam karya itu sendiri yang
dilihat sebagai unsur-unsur lepas dari kesatuan karya. Kajian tersebut hanya
mendasarkan kepada cerita tanpa mempersoalkan struktur karya. Oleh karena itu,
terdapat tiga kemungkinan yang dapat ditempuh dalam pendekatan ini, yakni:
1.
Suatu unsur dalam karya sastra
diambil secara terlepas dari hubungannya dengan unsur lain dan kemudian
dihubungkan langsung dengan suatu unsur sosio-budaya;
2.
Pendekatan ini boleh mengambil
"citra" tentang sesuatu – wanita, laki-laki, orang asing, tradisi,
dunia modern dan lain – dalam suatu karya atau beberapa karya yang mungkin saja
dilihat dalam perspektif perkembangan. Dengan demikian, maka akan dapat
terlihat perkembangan citra tentang sesuatu tersebut.
3.
Pendekatan ini boleh mengambil motif
atau tema yang keduanya berbeda secara gradual.
Dalam penelitian
ini akan dilihat peran wanita dalam kaba dan kaitannya dengan konsepsi budaya
dan 'adat Minangkabau yang melatari terciptanya kaba. Oleh sebab itu,
permasalahanlah yang menjadi dasar penelitian bukan struktur, seperti yang
diungkapkan Umar Junus di atas.
Cara
Penelitian
Penelitian
ini merupakan penelitian kepustakaan untuk mendeskripsikan peran wanita dalam
kaba Minangkabau dan hubungannya dengan konsepsi budaya dan adat istiadat
Minangkabau. Berdasarkan landasan teori di atas, maka dijabarkanlah langkah-langkah
operasional penelitian ini menjadi beberapa tahap kegiatan.
1.
Merumuskan peranan wanita dalam kaba
Minangkabau terhadap keluarga dan masyarakat.
2.
Merumuskan hubungan peran wanita
dalam kaba Minangkabau dengan konsepsi budaya dan adat istiadat yang dianut
pada wanita itu.
Hasil dan Pembahasan
Wanita
dalam Keluarga
Keluarga terbentuk jika ada ikatan perkawinan antara seorang lelaki dan
wanita (Munandar, 1985: 40). Dalam setiap keluarga senantiasa dijumpai kaum
lelaki dan wanita. Khususnya wanita yang dijumpai dalam keluarga juga dijumpai
bermacam-macam status dan keadaannya. Wanita yang dijumpai dalam keluarga
mungkin sebagai istri, ibu, anak, nenek, mertua, pembantu rumah tangga, anggota
keluarga atau famili, dan mungkin pula seorang teman.
Kehidupan keluarga bagi wanita telah memberikan bermacam-macam peranan
dan fungsi yang harus dilaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Menurut Hasan
Basri (dalam Sokah, 1995: 43) peranan dan fungsi wanita dalam keluarga tersebut
adalah menjadi istri dan teman hidup dari sang suami, partner dalam bidang
seksual, pengasuh dan pengatur rumah tangga, menjadi ibu, pengasuh, pendidik
dan pengatur rumah tangga bagi anak-anak suaminya, dan menjadi anggota
masyarakat lingkungan kehidupannya.
Pengungkapan peran wanita dalam keluarga pada kaba yang dijadikan sampel
dari kajian yakni kaba Cindua Mato, Anggun nan Tungga, dan Malin Deman membahas
peran wanita dalam rumah tangga sebagai istri, ibu, dan anggota masyarakat
lingkungan kehidupannya yaitu sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Selanjutnya satu persatu akan diuraikan peran di atas sesuai dengan yang
diperankan wanita dalam kaba tersebut.
Peran Wanita dalam Kaba Minangkabau
Peran wanita dalam keluarga yang ditemui dalam penelitian ini adalah
sebagai istri dan teman hidup dari sang suami, partner dalam bidang seksual,
pengasuh dan pengatur rumah tangga bagi anak-anak dan asumsinya, menjadi
anggota masyarakat lainnya.
Wanita
sebagai istri adalah pengurus rumah tangga, perawat anak-anak, figur ibu yang
penuh perasaan dan bolas kasih, dan seks sebagai kewajiban terhadap suami
(Shaevitz, 1989: 57).
Kehidupan
wanita sebagai istri dalam kaba yang dijadikan sampel dari kajian menunjukkan
kehidupan seperti gambaran yang dikemukakan Shaevitz di atas. Wanita hanya
mengurus sektor domestik saja (Budiman, 1982: 25).
Sebagai istri wanita dalam kaba ada yang setia sampai akhir hidupnya
mendampingi suami seperti Puti Linduang Bulan dengan Rajo Muda, Puti Bungsu
dengan Dang Tuanku (CM); Puti Mayang Sani dengan Rajo Tuah (MD). Ada wanita
yang menjadi istri (didampingi suami) hanya sampai mempunyai anak saja kemudian
berpisah seperti, Puti Lenggogeni dengan Cindua Mato setelah lahir anaknya
Sutan Amirullah dan Puti Lembak Tuah (CM); Andami Sutan dengan Anggun nan
Tungga menjelang lahir anaknya Mandugo Ombak. Ameh Manah dengan Nankodo Rajo
setelah lahir anaknya Puti Gondoriah, Ganto Pomai dengan Tuanku Haji Mudo
menjelang lahir anaknya Anggun nan Tungga, Galinggang Layua dengan Tuanku Haji
Mudo setelah lahir anaknya Katik Alamsudin (ANT); Puti Bungsu dengan Malin
Daman setelah lahir anaknya Malin Duano
Kehidupan
wanita sebagai istri pada umumnya tampak sementara saja. Hal ini dapat
dicermati berdasar basil penelitian disebabkan; (a) wanita (istri) tidak selalu
menggantungkan kehidupan sosialnya kepada lelaki (suami); (b) keterikatan suami
dengan keluarga ibu; (c) menghormati profesi suami; (d) berasal dari dunia yang
berbeda. Walaupun penyebab perpisahan itu dapat dipilah-pilah, tetapi semua
sating terkait dan secara keseluruhan mengkristal sehingga terjadilah
perpisahan secara baik dan sukarela. Dengan demikian, terlihatlah bahwa wanita
dalam kaba perkasa secara psikis tetapi tidak memiliki keperkasaan pisik.
Wanita menguasai pikiran dan perasaan suami dan anaknya. Wanita kukuh dan tegar
dengan pendiriannya, prinsip, dan tujuan hidupnya.
Wanita dalam kedudukannya sebagai ibu selalu berhadapan dengan anak
yang menyangkut tanggung jawab terhadap kebutuhan moral dan material anak.
Tanggung jawab tersebut meliputi usaha membesarkan anak, menyelenggarakan
pendidikan atau setidak-tidaknya mengusahakan pendidikan anak, menetapkan
norma-norma kehidupan bagi anak, mengendalikan perilaku kehidupan anak, dan
menentukan pula imbalan atau hukuman bagi anak. Dengan demikian, baik buruknya
anak ditentukan oleh ibu (Bassi dalam Sokah, 1995: 45-46).
Tanggung jawab secara moral bagi seorang ibu terhadap anaknya sudah
dimulai semenjak anak dalam kandungan. Hal ini dilakukannya dengan jalan
merawat kesehatan dirinya dan mencita-citakan anaknya kelak menjadi orang yang
berguna sebagaimana terungkap dalam harapan Ganto Pomai ketika mengandung
Anggun nan Tungga. Kepada anak tercurah harapan si ibu agar anaknya dapat
berguna bagi kebaikan keluarga dan masyarakat. Seorang anak sebelum dilahirkan
telah dibebani dengan tanggung jawab untuk menjaga kemaslahatan keluarga, kaum,
dan masyarakatnya.
Untuk
mewujudkan harapannya itu ada beberapa tanggung jawab yang dilakukan oleh
seorang ibu terhadap anak menjelang anak dewasa. Tanggung jawab utama adalah
mendidik anak dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan ini
diberikan ibu sesuai dengan kodrat anaknya sebagai manusia. Bila anaknya
seorang wanita tentulah akan diberikan pendidik yang dibutuhkan dalam kehidupan
sehari-hari sebagai wanita seperti dirinya sendiri sebagai ibu atau istri dan
pekerjaan wanita di sektor domestik. Bila seorang anak itu laki-laki maka
pendidikan diberikan sesuai dengan kebutuhan seorang laki-laki yang tugasnya
lebih banyak di luar keluarga atau sektor publik. Hal ini dapat dilihat pada
Bundo Kandung mengajari anaknya Dang Tuangku.
Wanita dalam
lingkungan keluarga terpusat pada perannya sebagai ibu, yakni sebagai orang
yang mendominasi kepentingan anak-anaknya. Wanita sebagai motivator, pendidik,
dan sekaligus hakim bagi anak-anaknya. Wanita sebagai seorang ibu dalam kaba
ini mengutamakan kepentingan anak-anaknya, melihat tanggung jawab yang penuh
dalam hal membesarkan dan mendidik anak. Wanita membesarkan dan mendidik anak
dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab, welas kasih, dan mandiri. Wanita
sebagai ibu mempunyai rasa sosial, toleran, tegar, dan kreatif dalam lingkungan
keluarganya. Dalam hal segala kebutuhan anak, wanita selalu berusaha untuk
memenuhinya dengan mandiri dan memberikan kebutuhan tersebut sesuai dengan
kodrat anaknya. Untuk anak laki-laki diberikan pendidikan yang ada hubungan
dengan kepentingan di luar keluarga atau laki-laki diberikan pendidikan yang
berbeda dengan anak wanita. Harapan wanita bahwa anak laki-laki merupakan
perpanjangan tangan wanita di luar keluarga. Anak wanita dianggap sebagai
pewaris dalam keluarga, sehingga diberikan pendidikan yang menyangkut
kepentingan keluarga. Dengan kata lain, bahwa anak laki-laki akan mempunyai
peran sebagai figur publik dan anak wanita sebagai figur domestik.
Sebagai.
anak dalam kaba yang diteliti ini, wanita dididik untuk patuh kepada ibu karena
ibu lebih dekat dengan anak daripada ayahnya. Hal ini terlihat dari uraian
wanita sebagai ibu. Ketidakhadiran ayah di camping anaknya terlihat pada Cindua
Mato dan Dang Tuangku, Puti Ranik Jintan dan Imbang Jayo dalam kaba Cindua
Mato. Begitu juga dalam kaba Anggun nan Tungga terlihat ketidak hadiran ayah
itu pada Anggun Nan Tungga dan Katik Alamsudin, dan Gondoriah.
Anak
wanita selalu dididik sebagai pengatur rumah tangga karena sosialisasi anak
wanita oleh orang tua lebih diarahkan untuk menjadi istri, ibu, dan pengelola
rumah tangga (Shaevitz, 1989: 25). Anak wanita diberi pelajaran yang menyangkut
tentang rumah tangga sedangkan anak laki-laki diberi pendidikan pekerjaan yang
dilakukan di luar rumah. Hal ini dilakukan Bundo Kanduang terhadap Dang Tuangku
dan Cindua Mato (CM), Suto Sori terhadap Anggun Nan Tungga (ANT), dan Puti
Mayang Sani terhadap Malin Daman (MD). Anak wanita sejak kecil sudah diarahkan
untuk menjadi seorang ibu karena wanita itu nanti akan menjadi ibu.
Anak wanita akan melakukan hubungan yang harmonis terhadap ayahnya bila
kepentingannya tidak terganggu. Bila kepentingan seorang anak wanita terganggu
oleh ayahnya, maka ia dapat saja berbuat semaunya dan melawan ayahnya. Hal ini
dilakukan Puti Bungsu yang melarikan diri dengan Cindua Mato saat ia akan
dikawinkan dengan Rajo Imbang Jayo.
Wanita
sebagai anak dididik untuk patuh kepada orang tua terutama ibu, karena ibu
lebih dekat dengan anak dari pada ayah. Ini terlihat dalam kehidupan yang ada
dalam kaba bahwa ternyata anak dibesarkan oleh ibu tanpa ayah. Cindua Mato dan
Dang Tuanku dibesarkan oleh Bundo Kandung tanpa ayah. Puti Ranik Jintan dan
kakaknya Rajo Imbang Jayo hidup jauh dari ayah (CM). Anggun nan Tungga dan
Katik Lamsudin yang ditinggal ayah sebagai seorang pertapa. Gondoriah yang
ditinggal ayah pergi merantau. Sebagai seorang anak wanita mendapat pendidikan
terarah mengenai kerumahtanggaan, karena wanita kelak diharapkan nanti juga
sebagai ibu dalam keluarga dan sekaligus pewaris keluarga. Dalam hubungan
dengan ayah, anak wanita akan harmonis bila kepentingannya tidak terganggu.
Bila kepentingannya terganggu maka anak wanita akan menjauhkan diri dari
ayahnya seperti yang dilakukan Puti Bungsu dalam kaba Cindua Mato.
Wanita
sebagai kakak dianggap sebagai pengganti ibu untuk mengkomunikasikan kegiatan
yang hendak dilakukannya. Ini terlihat pada Bundo Kandung dan Puti Bungsu
ketika mencari jalan keluar yang terbaik dalam suatu persoalan. Sebagai adik wanita
juga menjadi panutan seperti wanita sebagai kakak. Ini juga terlihat pada Puti
ranik Jintan yang sering membantu kakaknya Rajo Imbang Jayo dalam berbagai
persoalan. Begitu juga dengan Suto Sori terhadap kakaknya Katik Intan,
Mangukudum Sati dan Nankodo Rajo untuk diselamatkan dari kungkungan bajak laut.
Wanita
sebagai adik terhadap kakak laki-laki juga berfungsi sebagai ibu bila ibu tidak
ada. Bila ada ibu sebagai pembantu atau pelengkap kedudukan ibu. Hal ini dapat
terlihat pada Puti Ranik Jintan terhadap kakaknya Rajo Imbang Jayo yang hampir
putus asa karena dipermalukan oleh Cindua Mato. Puti Ranik Jintan memberi
nasehat dan pandangan terhadap kakaknya Rajo Imbang Jayo agar bersemangat
menuntut balas akan penghinaan kerajaan Pagaruyung.
Jadi jelaslah
bahwa peran wanita sebagai kakak atau adik bagi saudara laki-lakinya merupakan
peran sebagai pengganti ibu. Terhadap saudara wanita peran kakak wanita juga
sebagai ibu, sedangkan peran adik wanita terhadap saudara wanita begitu juga,
namun dalam mengambil keputusan tetap berada di tangan kakak sebagai wanita.
Dalam kaba
wanita yang berperan sebagai nenek adalah Kambang Bandahari dan Puti Lindung
Bulan dalam kaba Cindua Mato, dan Puti Mayang Sani dan enam orang saudaranya
dalam kaba Malin Deman. Peranan wanita sebagai nenek dalam kaba ini akan
terlihat harmonis dan serasi bila hubungan ibu dari cucunya itu juga
berhubungan baik. Bagi seorang nenek cucu tentulah dambaannya dan selalu akan
didekati dengan penuh kasih sayang.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa nenek akan dipatuhi cucunya bila ibu dari cucu
tersebut disayangi Pula
oleh neneknya. Sebaliknya hubungan ibu dari cucu tidak harmonis dengan
neneknya, maka ibu akan mengajari hal-hal yang jelek kepada anaknya. Jelaslah
bahwa anak akan mematuhi segala apa yang diinginkan oleh ibunya. Bila ibunya
sudah mengajarkan yang tidak baik kepada anaknya, maka anaknya akan berbuat
tidak baik kepada siapa saja sesuai
dengan apa yang diajarkan ibunya, meskipun terhadap neneknya sendiri.
Sebagai makhluk sosial wanita memiliki dorongan untuk berinteraksi
dengan lingkungan sosial. Lingkungan sosial yaitu merupakan lingkungan
masyarakat yang di dalamnya terdapat interaksi individu dengan individu lain.
Adanya lingkungan sosial ini akan sangat berpengaruh terhadap keadaan individu
sebagai anggota masyarakat (Walgito, 1990: 27). Demikian juga halnya bagi
wanita dalam kaba, keadaan lingkungan sosialnya akan berpengaruh kepada
eksistensinya sebagai wanita.
Wanita di tengah-tengah masyarakat dibanding dengan laki-laki memang kurang
mendominasi menjadi pemimpin sebab wanita lebih banyak hidup di tengah-tengah
keluarga. Wanita jika ingin berperan di tengah-tengah masyarakat akan
menyalurkan ide-idenya melalui laki-laki yang menjadi saudara atau anaknya.
Dengan demikian, laki-laki merupakan pimpinan dalam masyarakat, hubungan antar
keluarga, dan hubungan antar darah, meskipun secara implisit laki-laki
dikendalikan wanita. Hal ini terlihat ketika seorang ibu mendidik dan
membesarkan anaknya, seperti yang dilakukan Bundo Bandung terhadap anaknya Dang Tuanku dan Cindua Mato,
Suto Sari terhadap anaknya.
Jadi, jelaslah bahwa kepemimpinan seorang wanita dalam kaba kurang
mempergunakan pikiran dan lebih banyak mempergunakan perasaan. Wanita dalam
kaba memang tidak bisa mewujudkan maksudnya secara langsung kepada masyarakat,
namun wanita dalam kaba menyalurkan maksud dan tujuannya kepada saudara atau
anak laki-lakinya. Beberapa kasus dapat dilihat dalam kaba yang diteliti ini.
Bundo Kandung selalu mengambil keputusan dengan menyerahkan persoalan itu
kepada Basa Ampek Balai (semacam dewan kerajaan) dalam kerajaan Pagaruyung.
Bundo Kandung tidak dapat memutuskan sendiri setiap persoalan. Misalnya, ketika
kiriman apa yang akan diberikan pada pasta Puti Bungsu dengan Rajo Imbang Jayo
dan siapa yang pantas diutus untuk mengantarkan kiriman itu diputuskan oleh
Dang Tuanku bukan Bundo Kandung, meskipun Bundo Kandung adalah raja.
Wanita
sebagai pimpinan masyarakat mementingkan perasaan dan pikiran, sehingga wanita
lebih sering memberikan keputusan sesuatu hal dalam kepemimpinannya terhadap
laki-laki. Ini terlihat pada Bundo Kandung yang menjadi raja dalam kaba Cindua
Mato. Wanita dalam kaba selalu menyalurkan maksud dan tujuannya terhadap
laki-laki. Hal semacam ini terlihat pada Ganto Pomai dan Bundo Kandung ketika
mewujudkan keinginan menyelamatkan saudara-saudaranya dan memutuskan untuk
berperang dengan Rajo Imbang Jayo dengan Tiang Bungkuk.
Wanita
sebagai anggota masyarakat dalam kaba adalah wanita yang saling bantu membantu
dalam kehidupan bermasyarakat. Wanita karena kodratnya, seperti yang telah
dikemukakan di atas, lebih banyak berperan dalam keluarga dengan kemampuannya
dan dalam masyarakat pekerjaannya juga adalah pekerjaan yang di dapatnya
sebagai anggota keluarga. Wanita lebih banyak mengerjakan pekerjaan yang
bersifat kewanitaan atau domestik. Peran wanita yang lebih banyak ditemui dalam
kaba ini adalah sebagai pembantu rumah tangga (biasanya diberi panggilan
Kambang) yang selalu slap dan tangkas atas pekerjaannya.
Dalam
kehidupan masyarakat lainnya, wanita lebih banyak berperan dalam keluarga
dengan kemampuannya dan dalam masyarakat pekerjaannya juga adalah pekerjaan
yang didapatnya sebagai anggota keluarga. Wanita lebih banyak mengerjakan
pekerjaan yang bersifat kewanitaan atau domestik. Peran wanita dalam
masyarakat yang ditemui dalam kaba ini diantaranya sebagai pembantu
rumah tangga seperti yang dilakukan Kambang Bandahari. Peran lainnya sebagai
dukun beranak seperti yang dilakukan
Ameh Manah. Pengelola kebun bunga dan ibu angkat seperti yang dilakukan oleh
Mande Rubiah Randa Kaya dan Mande Rubiah Pakan Bunga. Pekerjaan wanita lainnya
adalah sebagai penjemur hasil pertanian dan pengembala ternak.
Peran Wanita dengan Konsepsi Budaya Minangkabau
Ada lima hal
yang dikemukakan adat istiadat Minangkabau tentang wanita yaitu (1) Limpapeh
rumah nan gadang berarti wanita sebagai kekuatan dalam suatu keluarga,
karena limpapeh artinya tiang tengah dalam sebuah bangunan; (2) umbun
puruak pegangan kunci dimaksud bahwa wanita adalah pemegang basil ekonomi; (3)
pusek jalo kumpulan tali yaitu pengatur rumah tangga dan merupakan sumber
yang sangat menentukan baik dan jeleknya anggota keluarga; (4) sumarak dalam
nagari, hiasan dalam kampuang maksudnya wanita merupakan kesemarakan negeri
dan perhiasan kampung; (5) nan gadang basah batuah berarti lambang
kebanggaan dan kemuliaan.
Bila dilihat
dari konsepsi adat Minangkabau di atas maka wanita dalam kaba jelas
mencerminkan kehidupan, apa yang telah ditetapkan adat Minangkabau tersebut.
Sebagai kekuatan dalam keluarga, wanita telah berusaha untuk memberikan yang
terbaik dalam keluarganya seperti mendidik anak, sebagai pendamping suami,
mengatur rumah tangga, sebagai saudara (kakak dan adik) dan anggota keluarga
lainnya. Oleh karena wanita memegang hasil ekonomi, maka wanita Minangkabau
secara materi tidak berkekurangan, sehingga bila ditinggalkan oleh suaminya
mereka dapat hidup dengan baik, seperti Bundo Kandung, Lenggogini, Puti Reno
Bulan, Puti Ranik Jintan (CM), Ganto Pomai, Ameh manah, Galinggang Layua, Andami
Sutan (ANT), Puti Bungsu dan Sa,ntan Batapi (MD). Bila mereka tidak mempunyai
materi, mereka dapat saja melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan
kewanitaannya seperti menjadi pembantu rumah tangga, petani, petemak, dukun
beranak, penjual bunga, dan lain sebagainya, seperti Kambang Bandahari (CM),
Ameh Manah (ANT), Mandeh Rubiah Randa Kaya dan Mande Rubiah Pakan Bunga (MD).
Sebagai pengatur rumah tangga dan merupakan sumber yang sangat menentukan baik
dan jeleknya anggota telah dilakukan oleh wanita seperti Bundo Kandung (CM),
Ameh Manah dan Galinggang Layua (ANT). Sebagai semarak negeri dan hiasan
kampung dapat dilihat pada Lenggogini, Puti Bungsu dan Puti Reno Bulan (CM),
Gondoriah dan Santan Batapi (ANT). Sebagai lambang kebanggaan dan kemuliaan
dapat dilihat pada Bundo Kandung (CM), Suto Sori dan Ameh Manah (ANT).
Kepribadian
seseorang dan masyarakat menurut
adat didasari oleh budi dan malu. Untuk itu wanita dalam kaba selalu menjaga
budi dan malu tersebut secara baik. Hal ini dapat dilihat pada kemarahan Bundo Kandung
yang malu karena Cindua Mato telah melarikan Puti Bungsu; kemarahan Bundo
kandung terhadap adiknya Rajo Mudo karena malu dengan masyarakat akan hubungan
Dang Tuanku dengan Puti Bungsu yang diputus oleh Rajo Mudo; Puti Ranik Jintan menasehatinya
kakaknya karena malu kepada masyarakat akan penghinaan terhadap kakaknya Rajo
Imbang Jayo yang tidak
jadi kawin dengan Puti Bungsu; Suto Sori marah-marah kepada Anggun nan Tungga
dan Bujang Salamat karena membawa malu pulang; Suto Sori mengizinkan Anggun nan
Tungga mencari para pamannya karena malu atas fitnahan yang diedarkan Nan Kodo
Rajo; Gondoriah tan ke gunung ledang karena malu menerima kembali Anggun nan
Tungga yang sudah kawin; Puti Bungsu kembali ke langit karena dipermalukan oleh
mertua dan saudara-saudaranya; Puti Tangah memarahi Puti Bungsu yang tidak mau
melihat Medan Khiali sakit karena malu dengan
Mande Rubiah Pakan Bunga
yang akan menjadi calon mertua adiknya.
Kesimpulan
Berdasarkan
pendeskripsian penelitian peran wanita dalam kaba dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1.
Wanita dalam kaba berperan hanya
dalam keluarga yakni sebagai istri, ibu, anak, saudara (kakak dan adik), dan
nenek. Di luar lingkungan keluarga wanita kurang berperan seperti laki-laki.
Kecuali Bundo Kandung yang menjadi raja Pagaruyung.
2.
Wanita dalam keluarga terpusat
perannya sebagai ibu, yakni seorang yang mendominasi kepentingan anak-anaknya.
Sebagai ibu wanita bertindak sebagai motivator, pendidik, dan sekaligus hakim
bagi anak-anaknya. Dalam hat prioritas anak, wanita akan menempatkan anak
laki-laki sebagai perpanjangan tangannya terhadap lingkungan luar keluarga,
sedangkan anak wanita sebagai perpanjangan tangan dan pewaris kepentingan dalam
keluarga.
3.
Secara formal wanita tidak banyak
muncul dalam masyarakat yang lebih luas, namun pengaruhnya tetap besar karena
kepentingan dan kemauannya terdelegasikan melalui anak laki-lakinya.
4.
Peran wanita dalam kaba berhubungan
erat dengan kepribadian individual anggota masyarakat menurut sistem sosial
masyarakat Minangkabau. Bahkan wanita dalam kaba merupakan pengukuhan
kepribadian anggota masyarakat Minangkabau.
Daftar
Pustaka:
Armini,
1996. "Citra Wanita Pekerja dalam Empat Novel". Tesis Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
Asri,
Jasnur, 1996. Orientasi Nilai Budaya Tokoh Wanita dalam Novel Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
Baried,
Baroroh, 1984. "Citra Wanita dalam Kebudayaan Indonesia". Makalah Seminar
Nasional Wanita Indonesia:
Fakta dan Citra, Jakarta
23 - 25 Agustus.
Chamamah-Soeratno,
Siti,
1994. Sastra dalam Wawasan Pragmatic
Tinjauan alas Asas Relevansi di
dalam Pembangunan Bangsa. Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 24 Januari.
Damono, Sapardi Djoko, 1979. Sosiologi
Sastra: Sebuah Pengantar
Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Jassin, H.B., 1984. Sastra Indonesia sebagai Wargo Sastra Dunia. Jakarta. Gramedia.
Junus, Umar, 1984a. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau: Suatu Problem
Sosiologi Sastra. Jakarta: Gramedia.
_______ , 1984 Sastra Melayu Madan :
Fakta dan Interpretasi. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia.
Mahkota, Ambas, 1982. Anggun
nan Tungga. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Navis, A. A., 1986.
Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Graffitipers.
Nurizzati, 1994. "Kaba
Malin Deman Sebuah Kajian Filologis". Tesis S-2 Universitas Padjadjaran Bandung.
Penghulu, Idrus Hakimy Dt.
Rajo, 1994. Pegangan Penghulu, Bundo
Kanduang, dan Pidato Alua Pasambahan Ada: Minangkabau.
Bandung. Ramaja Rosdakarya.
Ridjal, Fauzi,
1993. Dinamika Gerakan Perempuan di
Indonesia. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya.
Sartain, A. Q., 1958. Psychology: Understanding Human Behaviour. McGraw-Hill
Book Company, Inc.
Susanto, Astrid, 1983. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta: Bina Cipta.
Udin, Syamsuddin, 1982.
"Kaba Minangkabau Karya Syamsuddin
Sutan Rajo Endah: Tinjauan dari Sudut Sosial Budaya". Padang:
Penelitian untuk Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa. Jakarta.
Walgito, Bimo, 1993. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset.
Tentang
Sastra1
Oleh:
Drs. Hermawan, M. Hum.2
Sungguh suatu
kebahagiaan ketika saya mendapatkan undangan panitia seabad dan haul Soeman Hs.
Saya ditunjuk sebagai pembicara. Sekitar bulan Oktober 2003 saya pernah
mengirim SMS kepada Saudara Dasri Al Mubary untuk memberitahukan bahwa tahun
2004 adalah seabad Soeman Hs. Saya berharap Dasri dan kawan-kawan mengadakan
acara karena Soeman Hs. salah seorang pemuka masyarakat Riau yang perlu
dihormati. Apalagi dalam dunia kesusasteraan Soeman Hs. termasuk perintis dan
Bapak cerpen Indonesia.
Ketika saya baca
surat dari panitia seabad dan haul Soeman Hs. saya sangat bahagia. Dengan tema yang sangat menarik yaitu “Dengan
Haul Soeman Hs. Mari Tingkatkan Kualitas Pendidikan dan Kreatifitas Anak Bangsa
Menuju Visi Misi Riau 2020”., kegiatan
memperingati haul Suman Hs. jadi juga terangkat. Saya menjadi bertambah bahagia. Kebahagiaan bertambah lagi dengan
disejajarkannya saya tampil sebagai pemakalah dengan orang penting dan
dipentingkan di Riau. Lebih lengkap lagi kebahagiaan itu adalah tampilnya saya
dari luar Riau. Terima kasih untuk semua ini kepada panitia dan hadirin saat
ini.
Berbicara tentang
sastra memang amat menarik karena sastra merupakan suatu dunia yang di dalamnya
ada kehidupan. Banyak hal yang dapat dibicarakan
melalui sastra. Dalam sebuah karya sastra kita dapat melihat
berbagai dunia dan ilmu pengetahuan, sedangkan dalam berbagai ilmu pengetahuan
kita belum dapat melihat sastra. Inilah menariknya.
Sebuah karya sastra
yang baik dan menjadi monumental akan selalu dapat dibicarakan, dikaji dan
diteliti tanpa usang. Membaca sebuah karya sastra hari ini akan beda dengan
membaca sebuah karya sastra yang sama esok harinya, sehingga Hang Tuah, Romeo
dan Juliet, Siti Nurbaya dan lain-lain tidak bosan dan habisnya orang
bicarakan. Setiap kali dibaca sebuah karya sastra akan ada saja hal baru yang
muncul, begitulah seterusnya.
Bagi kita pengumpul dan pecinta buku akan menjadi kaya
seumur hidup baik secara isi dari karya tersebut maupun secara koleksi, sebab
mengoleksi buku sastra berarti mengoleksi kebudayaan atau bahasa yang tak
pernah habis.
Apa benarkan sastra
itu?
Sangat banyak
defenisi tentang sastra dari berbagai pendapat. Kalau ditulis mungkin akan
menghabiskan kata-kata. Masing-masing kita juga punya defnisi sendiri,
tergantung dari mana kita mendefenisikan karya tersebut. Saya mencoba
mendefenisikan karya sastra ini adalah suatu yang punya tokoh atau rekaan.
Selain dari itu berarti bukan sastra karena beda karya sastra dengan yang
lainnya adalah tokoh atau rekaan itu.
Bagi pengarang
sastra merupakan tempat “berlindung” karena pengarang bisa bicara apa saja dan
bila dituntut mereka berdalih itu sastra. Walaupun seorang sastrawan menulis
sebuah peristiwa faktual yang benar-benar terjadi dalam masyarakat, orang akan
tetap membacanya sebagai sebuah karya fiktif. Sekiranya kita berandai-andai,
bahwa Soeman Hs. hidup masa sekarang dan menyaksikan peristiwa konflik antara
Bupati Kampar dengan para guru yang
terjadi baru-baru ini lalu dia menulis peristiwa itu sedemikian dramatis dan
tragis dalam sebuah cerpen orang tidak
akan dapat menuntut Soeman Hs. Akan tetapi bila seorang wartawan menulis
peristiwa tersebut tidak faktual dalam sebuah berita, maka wartawan tadi dapat dituntut
karena membuat berita tidak sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan. Jadi
sebuah karya yang berasal dari sumber yang sama akan mempunyai dampak yang
berbeda ketika karya itu ditulis dengan niat yang berbeda. Satu diniatkan
sebagai karya sastra dan yang lainnya diniat sebagai berita.
Bangun tidur kita
bersastra dengan ungkapan kata-kata: “Aku mimpi menggosok gigi/ketika
bangun gigiku tinggal dalam mimpi/aku tidur lagi ambil itu gigi/
dalam tidur aku mimpi gigiku menggosok-gosok…”
Mau tidur waktu
kecil dininabobokan dengan sastra didendangkan dengan pantun-pantun atau
cerita-cerita tentang pahlawan dan sebagainya.
Sastra bahasa yang
indah. Sastra tidak menjadi indah bila tanpa bahasa. Bahasa dapat indah tanpa
sastra. Yang menentukan indahnya bahasa bukan sastra, tetapi sebaliknya yang
menopang keindahan sastra adalah bahasa. Menurut Islam yang pertama ada itu
adalah Kalam atau bahasa. Akan tetapi uniknya, di Yunani bahasa digunakan
sebagai medium untuk mengungkapkan persoalan-persoalan filsafah secara
sastrawi. Baca Homerus misalnya. Homerus adalah karya sastra pertama di dunia
yang ditulis oleh Aristoteles. Begitu juga di negeri kita ini,
pelajaran-pelajaran moral, pendidikan, hubungan antar manusia diungkapkan
secara sastrawi. Baca saja misalnya pantun bidal, mamang atau kaba. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa bahasa secara tradisional digunakan secara
sastrawi.
Kesusasteraan
adalah hasil kehidupan jiwa yang terjelma dalam tulisan atau bahasa tulis yang
menggambarkan atau mencerminkn peristiwa kehidupan masyarakat atau anggota
masyarakat. Sangat sulit memang seorang
sastrawan menciptakan suatu masyarakat imajinatif dalam sebuah karya sastra
tanpa mengindahkan masyarakat objektif yang berada di luar sastra. Dalam sastra
konvensional tidak pernah kita temukan kehidupan, peristiwa-peristiwa yang
terjadi dalam masyarakat imajinatif yang bertentang dengan kehidupan dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat objektif. Tidak ada suatu
kejadian yang terjadi dalam masyarakat imajinatif yang tidak terdapat dalam
masyarakat objektif. Kalaupun ada itu disebut absurd. Akan tetapi, dalam sastra
absurd pun tidak semua kejadian dalam masyarakat imajinatif yang bertentangan
dengan masyarakat objektif, kecuali untuk sebagian kecil kejadian. Baca saja
misalnya karya Iwan Simatupang “Merah Merah”.
Dalam novel ini, seorang tokoh jatuh dari gedung tinggi ketika terik
panas matahari. Dia jatuh di atas tubuh seorang gadis yang ketika lewat di
sana. Di atas aspal jalan yang panas itu dia menimpa tubuh gadis itu dan
kemudian langsung bersetubuh. Dia tidak mati dan gadis itu pun tidak mati.
Peristiwa itu dalam kehidupan nyata tidak akan pernah terjadi. Ini bertentangan
dengan realitas yang sebenarnya. Tetapi dapat dibenarkan dalam realiatas
imajinatif. Absurd memang, karena karya itu merupakan karya sastra absurd.
Secara ringkas
dapat dirumus pengertian kesusasteraan sebagai berikut.
-
Seni bahasa (STA)
-
Tafsir hidup, seperti hidup itu
tergantung dalam pikiran orang yang menafsirkan (W. H. Hudson)
-
Keindahan yang dilahirkan oleh
bahasa ialah bahasa kesenian, bahasa atau seni sastra (Madong Lubis)
-
Penjelmaan Pribadi yang luhur
dengan kata/bahasa dalam bentuk yang tepat (A. Samidi)
-
Suatu kegiatan kreatif, sebuah
karya seni (Wellek & Warren)
Perkembangan keadaan sastra sekarang sangat baik,
terutama sastra koran. Sastra koran muncul ketika rubrik budaya ditempatkan
sebagai salah satu rubrik dalam kolom-kolom surat kabar. Melalui rubrik itu terbuka peluang yang besar
untuk berkembang sastra. Banyak penulis mengisi kolom rubrik itu dengan
berbagai karya sastra, apakah itu cerpen, puisi atau kritik sastra. Dengan
munculnya rubrik budaya tersebut, perkembangan sastra semakin marak. Banyak
bermunculan penulis-penulis baru, pendatang baru dalam dunia sastra. Bahkan
diantaranya ada yang mengukuhkan diri sebagai sastrawan, dan mengembangkan
dirinya, sehingga dia tidak lagi hanya menulis dikoran akan tetapi telah
menerbitkan buku-buku sastra, apakah berbentuk kumpulun puisi, kumpulan cerpen
atau sebuah novel. Di sisi lain ada juga yang kemudian lenyap disapu angin, tak
berbekas, sehingga orang lupa akan namanya. Dia tidak pernah hidup lagi.
Banyak karya sastra yang
diterbitkan dalam bentuk buku, namun distribusinya masih kurang. Penerbit masih
mempertimbangkan nilai bisnis ketimbang mempertimbangkan peningkatan apresiasi
masyarakat. Oleh karena itu, oplah penerbitan buku sastra relatif kecil karena
diragukan akan habis terjual. Akibatnya distribusi penjualan buku-buku sastra
hanya terbatas di kota-kota besar dan toko-toko buku tertentu saja. Jikalau
kita membutuhkan sebuah buku sastra kita
tidak mendapatinya disembarang tokoh buku. Harus dicari pada toko buku
tertentu, seperti Gramedia atau Angkasa kalau di Padang. Di toko-toko kecil
kita tidak akan menemukan buku sastra.! Oleh karena itulah apresiasi sastra di
masyarakat relatif rendah karena kurangnya karya sastra terdistribusi. Penyebab
lain adalah kurangnya apresiasi pengajar sastra (baca Horison Desember 2003).
Beberapa usaha
telah dilakukan untuk meningkatkan apresiasi sastra kepada masyarakat namun
hasilnya masih kurang, seperti yang dilakukan SBMM (Sastrawan Bicara Mahasiswa
Membaca). Malahan mahasiswa sastra dan pengajar sastra banyak yang tidk membaca
karya sastra.
Soeman Hs. telah
memulai bersastra, namun kurang terlanjutkan oleh pengarang berikutnya terutama
tentang cerita detektif dan humor. Cerita detektif dan humor hanya kita jumpai
dalam bentuk media audiovisual. Tidak adanya penerus Soeman Hs. barangkali
disebabkan tidak banyak generasi kita yang meminati masalah detektif dan humor.
Menggarap cerita detektif memerlukan
banyak pengetahuan, baik yang berkaitan dengan psikologi, intelejen dan
masalah-masalah medis. Artinya, menulis cerita detektif, tidak saja dituntut
ketrampilan menulis, menyusun adegan-adegan sehingga menarik untuk dibaca tetapi
juga keahlian lain yang berkaitan dengan dunia kejahatan. Hal yang semacam
tidak tidak dimiliki oleh generasi kita sekarang.
Menulis humor ini
apalagi. Kita bisa saja menertawakan orang atau diri sendiri, tetapi kita tidak
bisa membuat orang tertawa ketika membaca tulisan kita. Kalaupun mungkin, orang
mungkin akan tertawa dengan apa yang kita tulis. Karena kita tidak ingin
ditertawakan orang, maka generasi kita kurang meminati menulis karya-karya yang
dapat menyebabkan orang tertawa. Oleh karena itu, Soeman Hs. tetap sendiri
dalam kesendirinya. Marilah kita renungkan makna kesendirian itu
sendiri-sendiri, sebaris-sebaris, tanpa kata dan suara.
Demikianlah tentang
sastra. Terima kasih
WANITA DALAM KABA
Drs. Hermawan
Pendahuluan
Wanita Indonesia pada saat ini dapat
digambarkan sebagai manusia yang harus hidup dalam situasi dilematis. Maksudnya
di satu sisi wanita Indonesia
dituntut untuk berperan dalam semua sektor, tetapi di sisi lain muncul pula
tuntutan lain agar wanita tidak melupakan kodratnya sebagai wanita. Misalnya
wanita Indonesia
yang berkarir. Wanita karir ini, di satu sisi merasa terpanggil untuk
mendarmabaktikan bakat dan keahliannya bagi perkembangan bangsa dan negara Indonesia. Di
sisi lain mereka dihantui oleh opini yang ada dalam masyarakat yang melihat
bahwa wanita karir/ibu karir sebagai salah satu sumber ketidakberhasilan
pendidikan anaknya dan yang sangat memprihatinkan adalah opini di kalangan
masyarakat yang melihat bahwa wanita karir adalah "pengganggu suami orang
lain" (Soetrisno, dalam Ridjal, 1993: 108).
Menurut Armini (1986: 45) wanita pekerja
tercitra sebagai wanita yang berada dalam situasi ambivalen atau berwajah
ganda. Di satu sisi wanita pekerja ingin memupus anggapan bahwa tugas utama
wanita adalah di sektor domestik, tetapi di sisi lain anggapan itu dikokohkan.
Kemudian di satu sisi wanita pekerja ingin mengubah pandangan kedudukan wanita
tidak setara dengan pria, tetapi di sisi lain wanita justru bertindak sebaliknya.
Lebih lanjut diungkapkan Lukman Soetrisno bahwa
terjadinya dilematis wanita Indonesia tersebut disebab oleh pertama, bahwa Indonesia
adalah salah satu negara yang pluralistik dari segi etnik dan kebudayaannya;
kedua, situasi dilematis yang saat ini dihadapi oleh wanita Indonesia merupakan
hasil dari suatu proses interaksi dari berbagai faktor sosial dan politik yang
berkembang di negara Indonesia; tiga, adanya pluralisme etnik dan kebudayaan
itu maka tidak mungkin secara adhock membuat suatu pendapat yang mengeneralisir
bahwa wanita Indonesia sejak semula memiliki kedudukan yang rendah tanpa
mempelajari kedudukan wanita dalam konteks kebudayaan dari masingmasing suku
bangsa yang di bumi nusantara ini. Wanita Minangkabau tidak dapat disangkal lagi
memiliki kedudukan yang sederajat dengan lelaki bahwa dalam kebudayaan
Minangkabau wanita justru mempunyai kedudukan yang jauh lebih tinggi dari pada
kaum lelaki karena mereka dianggap penjaga dari harta pusaka keluarga
(Soetrisno dalam Ridjal, 1993: 108).
Masyarakat Minangkabau memiliki keunikan bila
dibanding dengan masyarakat kultur lainnya di Indonesia. Keunikan ini disebabkan
oleh paham matrilineal yang dianut oleh masyarakat Minangkabau yang mengambil
garis keturunan menurut garis ibu. Dengan paham yang dianutnya ini, peranan dan
kedudukan wanita menjadi lebih panting di dalam kehidupan masyarakat
Minangkabau (Asri, 1996: 3). Pentingnya posisi wanita dalam keluarga juga
diungkapkan oleh Holleman dan Vreede-De Stuers (dalam Baried, 1994: 6) yang mengatakan
bahwa wanita dalam sistem matrilineal, yaitu menurut garis keturunan ibu,
kedudukan wanita panting karena di tangannyalah kehidupan keturunan tergantung.
Dalam sistem ini pihak wanita adalah memegang keputusan dan berwenang
menentukan kebijaksanaan. Untuk melihat bagaimana peranan dan kedudukan wanita
Minangkabau dalam kehidupan masyarakat dengan konsepsi budaya adatnya akan
dilakukan penelitian melalui karya sastranya yaitu kaba.
Kaba, salah satu karya sastra tradisional
Minangkabau, secara langsung atau tidak tentu akan memberikan gambaran tentang
kultur ;Minangkabau termasuk wanita dan segala aspek kehidupannya. Ini sesuai
dengan pendapat Damono (1979: 1) yaitu bahwa karya sastra diciptakan oleh
sastrawan untuk dinikmati, 'dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sejalan
dengan itu, H.B. Jassin (1983: 4) mengemukakan bahwa karya sastra selalu
menarik perhatian karena mengungkapkan penghayatan manusia yang paling dalam,
dalam perjalanan hidupnya di segala zaman dan di segala tempat di dunia ini. Melalui
karya sastra sebagai basil kesenian, kita memasuki dunia pengalaman bangsa dan
bangsa-bangsa dalam sejarah dan masyarakatnya, menyelami apa yang pernah
dipikirkan dan dirasakan dan dengan demikian menambah kearifan dan
kebijaksanaan dalam kehidupan.
Menurut Soeratno (1994: 14) sastra dipahami
sebagai sarana "penghibur duka lara", sebagai pembawa rasa tenang,
sebagai "pelipur hati bagi yang memendam cinta berahi", sebagai
"perintang-perintang waktu", sebagai dokumen penyaji
informasi masa lampau, sebagai legitimasi suatu kekuasaan, sebagai penyangga
pranata sosial, sebagai pembawa ajaran moral, baik dalam kehidupan keluarga
maupun dalam kehidupan masyarakat, dan sebagai pencerdas bangsa.
Kaba sama dengan `kabar'
(Junus, 1984a: 17; Navis, 1986: 243) sehingga juga berarti `berita'. Sebagai
istilah ia menunjuk suatu jenis sastra tradisional lisan Minangkabau yang
diceritakan oleh seorang tukang kaba dengan diiringi saluang, rebab, dan
alat musik lainnya atau melalui pertunjukan randai. Kaba berbentuk prosa
liris. Bentuk ini tetap dipertahankan bila diterbitkan dalam bentuk buku.
Kesatuannya bukan pada kalimat dan bukan pada baris. Kesatuannya ialah
pengucapan dengan panjang tertentu yang terdiri dari dua bagian yang berimbang.
Sesuai dengan hakikatnya sebagai fiksi, cerita
kaba mengungkapkan pelbagai masalah kehidupan manusia dengan keunikan
penyampaian yang spesifik. Penyampaian yang terjadi padu akan melukiskan
kehidupan masyarakat Minangkabau yang kompleks dan dapat menyampaikan pesan
sebaik-baiknya kepada masyarakat pembaca (Udin. 1982: 99).
Kaba sebagai bentuk karya sastra dari satu sisi
dapat berfungsi sebagai "cermin dari masyarakat", Ini
sesuai dengan konsep Alan Singewood yang menyatakan sastra adalah cermin
masyarakat, atau cermin suatu zaman atau sastra adalah refleksi atau refraksi
sosial (dalam Damono, 1979: 4; Junus, 1934: 57).
Beberapa pemikiran semacam itulah yang menjadi
faktor pendorong untuk meneliti wanita dalam kaba Minangkabau dan hubungannya
dengan keadaan yang ada dalam masyarakat Minangkabau sesuai dengan sistem dan
adat yang dianut. Dengan penelitian ini, diharapkan beberapa hal yang
menyangkut pemikiran, sikap, pandangan dan perilaku wanita Minangkabau dapat
dikenali dan diidentifikasikan. Pada tahap selanjutnya diharapkan akan dapat memberikan
masukan-masukan positif dalam pengembangan kebudayaan nasional pada umumnya,
pengembangan kesusasteraan daerah khususnya.
Penelitian ini mempergunakan kaba yang
representatif yaitu; (1) kaba Cindua Mato (CM) yang diangkat dari basil
penelitian filologis M. Yusuf dengan judul "Persoalan Transliterasi dan
Edisi Hikayat Tuanku Nan Muda Pagaruyung (Kaba Cindua Mato) "; (2) kaba
Anggun nan Tungga (ANT) karya Ambas Mahkota; (3) kaba Malin Deman (MD) dari
kajian filologis Nurizzati dengan judul "Kaba Malin Deman
sebuah Kajian Filologis".
Pendekatan Teoritis
Penelitian wanita dalam kaba Minangkabau ini
dilakukan dengan memanfaatkan teori yang memadai. Teori yang memadai tersebut
adalah teori yang dapat mengungkapkan dan menjawab permasalahan yang dirumuskan di atas. Teori Yang
dapat mengungkapkan tentang permasalahan di atas adalah sosiologi sastra,
karena sejak semula penelitian ini sudah membicarakan tentang sosiologi sastra.
Dengan sosiologi sastra ada dua hal yang
tercakup, yakni "sosiologi" dan "sastra". Weber (dalam
Susanto, 1983: 2) mengatakan bahwa sosiologi adalah cabang ilmu yang mengerti,
dan menjelaskan tindak tanduk sosial manusia yang mempunyai pengaruh terhadap masyarakat. Tindakan sosial
adalah tindakan yang oleh individu dimaksudkan untuk mempunyai pengaruh
terhadap tindakan, dan sikap orang lain, dan bahwa faktor lain itu
diperhitungkan dalam tindakan semulanya. Ada
pun objek materi sosiologi ialah kehidupan sosial manusia, dan gejala suatu
proses hubungan yang mempengaruhi kesatuan hidup (Susanto, 1983: 4).
Sejalan dengan itu Damono (1979: 7) menyatakan
bahwa sosiologi adalah telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dan
masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sementara itu, sastra
juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat; usaha manusia untuk
menyesuaikan diri dan juga usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Oleh sebab
itu, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi hal yang sama. Perbedaannya
adalah bahwa sosiologi melakukan analisis ilmiah dan objektif, sedangkan novel
(sastra) menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan memperlihatkan
cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya (Damono, 19789: 8).
Junus (19846: 3-5) membahas teori tentang karya
sastra sebagai dokumen sosio-budaya. Dalam hal ini, sastra dilihat sebagai
dokumen sosio-budaya yang mencatat kenyataan sosio-budaya atau masyarakat pada
masa tertentu. Pendekatan ini hanya tertarik pada unsur-unsur sosiobudaya yang
terdapat dalam karya itu sendiri yang dilihat sebagai unsur-unsur lepas dari
kesatuan karya. Kajian tersebut hanya mendasarkan kepada cerita tanpa
mempersoalkan struktur karya. Oleh karena itu, terdapat tiga kemungkinan yang
dapat ditempuh dalam pendekatan ini, yakni:
1.
Suatu
unsur dalam karya sastra diambil secara terlepas dari hubungannya dengan unsur
lain dan kemudian dihubungkan langsung dengan suatu unsur sosio-budaya;
2.
Pendekatan
ini boleh mengambil "citra" tentang sesuatu – wanita, laki-laki,
orang asing, tradisi, dunia modern dan lain – dalam suatu karya atau beberapa
karya yang mungkin saja dilihat dalam perspektif perkembangan. Dengan demikian,
maka akan dapat terlihat perkembangan citra tentang sesuatu tersebut.
3.
Pendekatan
ini boleh mengambil motif atau tema yang keduanya berbeda secara gradual.
Dalam penelitian ini akan dilihat wanita dalam
kaba dari profil dan kaitannya dengan konsepsi budaya dan 'adat Minangkabau
yang melatari terciptanya kaba. Oleh sebab itu, permasalahanlah yang menjadi
dasar penelitian bukan struktur, seperti yang diungkapkan Umar Junus di atas.
Pengungkapkan profil menggunakan teori
psikologi, karena profil yang dimaksud di sini adalah kepribadian atau
personality. Psikologi menurut Walgito (1993: 9) merupakan suatu ilmu yang
menyelidiki serta mempelajari tentang tingkah laku atau aktivitas-aktivitas itu
sebagai manifestasi hidup kejiwaan.
Kepribadian (personality) menurut Sartain
(1958: 134-134) istilah yang menunjukkan n suatu organisasi/susunan daripada
sifat-sifat dan aspek-aspek tingkah laku lainnya yang saling berhubungan di
dalam suatu individu.
Dengan demikian, usaha untuk mendeskripsikan
wanita dalam kaba ini dilakukan dengan melihat sikap dan tingkah laku wanita
ketika berhadapan dengan konflik; bagaimana ia menghadapi permasalahan,
menyikapi, menyelesaikan, dan menindaklanjuti yang pada akhirnya bermuara pada
konsepsi tentang kehidupan. Kemudian juga akan dilihat peran wanita dalam kaba.
Cara Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan
untuk mendeskripsikan wanita dalam kaba Minangkabau dan hubungannya dengan
konsepsi budaya dan adat istiadat Minangkabau. Berdasarkan landasan teori di
atas, maka dijabarkanlah langkah-langkah operasional penelitian ini menjadi
beberapa tahap kegiatan.
1.
Merumuskan
wanita dalam kaba Minangkabau sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat terhadap pandangan, keindahan, cinta kasih, tanggung jawab, harapan,
dan keadilan.
2.
Merumuskan
peranan wanita dalam kaba Minangkabau terhadap keluarga dan masyarakat.
3.
Merumuskan
hubungan wanita dalam kaba Minangkabau dengan konsepsi budaya dan adat istiadat
yang dianut pada wanita itu.
Hasil dan Pembahasan
Peran wanita dalam keluarga yang ditemui dalam
penelitian ini adalah sebagai istri dan teman hidup dari sang suami, partner
dalam bidang seksual, pengasuh dan pengatur rumah tangga bagi
anak-anak dan asumsinya, menjadi anggota masyarakat lainnya. Sebagai istri
wanita dalam kaba ada yang setia sampai akhir hidupnya mendampingi suami
seperti Puti Linduang Bulan dengan Rajo Muda, Puti Bungsu dengan Dang Tuanku
(CM); Puti Mayang Sani dengan Rajo Tuah (MD). Ada wanita yang menjadi istri
(didampingi suami) hanya sampai mempunyai anak saja kemudian berpisah seperti,
Puti Lenggogeni dengan Cindua Mato setelah lahir anaknya Sutan Amirullah dan
Puti Lembak Tuah (CM); Andami Sutan dengan Anggun nan Tungga menjelang lahir
anaknya Mandugo Ombak. Ameh Manah dengan Nankodo Rajo setelah lahir anaknya
Puti Gondoriah, Ganto Pomai dengan Tuanku Haji Mudo menjelang lahir anaknya
Anggun nan Tungga, Galinggang Layua dengan Tuanku Haji Mudo setelah lahir
anaknya Katik Alamsudin (ANT); Puti Bungsu dengan Malin Daman setelah lahir
anaknya Malin Duano
Kehidupan wanita sebagai istri pada umumnya
tampak sementara saja. Hal ini dapat dicermati berdasar basil penelitian
disebabkan; (a) wanita (istri) tidak selalu menggantungkan kehidupan sosialnya
kepada lelaki (suami); (b) keterikatan suami dengan keluarga ibu; (c)
menghormati profesi suami; (d) berasal dari dunia yang berbeda. Walaupun
penyebab perpisahan itu dapat dipilah-pilah, tetapi semua sating terkait dan
secara keseluruhan mengkristal sehingga terjadilah perpisahan secara baik dan
sukarela. Dengan demikian, terlihatlah bahwa wanita dalam kaba perkasa secara
psikis tetapi tidak memiliki keperkasaan pisik. Wanita menguasai pikiran dan
perasaan suami dan anaknya. Wanita kukuh dan tegar dengan pendiriannya,
prinsip, dan tujuan hidupnya.
Wanita dalam lingkungan keluarga terpusat pada
perannya sebagai ibu, yakni sebagai orang yang mendominasi kepentingan
anak-anaknya. Wanita sebagai motivator, pendidik, dan sekaligus hakim bagi anak-anaknya.
Wanita sebagai seorang ibu dalam kaba ini mengutamakan kepentingan
anak-anaknya, melihat tanggung jawab yang penuh dalam hal membesarkan dan
mendidik anak. Wanita membesarkan dan mendidik anak dilakukan dengan penuh rasa
tanggung jawab, welas kasih, dan mandiri. Wanita sebagai ibu mempunyai rasa
sosial, toleran, tegar, dan kreatif dalam lingkungan keluarganya. Dalam hal
segala kebutuhan anak, wanita selalu berusaha untuk memenuhinya dengan mandiri
dan memberikan kebutuhan tersebut sesuai dengan kodrat anaknya. Untuk anak
laki-laki diberikan pendidikan yang ada hubungan dengan kepentingan di luar
keluarga atau laki-laki diberikan pendidikan yang berbeda dengan anak wanita.
Harapan wanita bahwa anak laki-laki merupakan perpanjangan tangan wanita di
luar keluarga. Anak wanita dianggap sebagai pewaris dalam keluarga, sehingga
diberikan pendidikan yang menyangkut kepentingan keluarga. Dengan kata lain,
bahwa anak laki-laki akan mempunyai peran sebagai figur publik dan anak wanita
sebagai figur domestik.
Wanita sebagai anak dididik untuk patuh kepada
orang tua terutama ibu, karena ibu lebih dekat dengan anak dari pada ayah. Ini
terlihat dalam kehidupan yang ada dalam kaba bahwa ternyata anak dibesarkan
oleh ibu tanpa ayah. Cindua Mato dan Dang Tuanku dibesarkan oleh Bundo Kandung
tanpa ayah. Puti Ranik Jintan dan kakaknya Rajo Imbang Jayo hidup jauh dari
ayah (CM). Anggun nan Tungga dan Katik Lamsudin yang ditinggal ayah sebagai
seorang pertapa. Gondoriah yang ditinggal ayah pergi merantau. Sebagai seorang
anak wanita mendapat pendidikan terarah mengenai kerumahtanggaan, karena wanita
kelak diharapkan nanti juga sebagai ibu dalam keluarga dan sekaligus pewaris
keluarga. Dalam hubungan dengan ayah, anak wanita akan harmonis bila
kepentingannya tidak terganggu. Bila kepentingannya terganggu maka anak wanita
akan menjauhkan diri dari ayahnya seperti yang dilakukan Puti Bungsu dalam kaba
Cindua Mato.
Wanita sebagai kakak dianggap sebagai pengganti
ibu untuk mengkomunikasikan kegiatan yang hendak dilakukannya. Ini terlihat
pada Bundo Kandung dan Puti Bungsu ketika mencari jalan keluar yang terbaik
dalam suatu persoalan. Sebagai adik wanita juga menjadi panutan seperti wanita
sebagai kakak. Ini juga terlihat pada Puti ranik Jintan yang sering membantu
kakaknya Rajo Imbang Jayo dalam berbagai persoalan. Begitu juga dengan Suto
Sori terhadap kakaknya Katik Intan, Mangukudum Sati dan Nankodo Rajo untuk
diselamatkan dari kungkungan bajak laut. Jadi jelaslah bahwa peran wanita
sebagai kakak atau adik bagi saudara laki-lakinya merupakan peran sebagai
pengganti ibu. Terhadap saudara wanita peran kakak wanita juga sebagai ibu,
sedangkan peran adik wanita terhadap saudara wanita begitu juga, namun dalam
mengambil keputusan tetap berada di tangan kakak sebagai wanita.
Peran wanita sebagai nenek akan ditentukan leh
keharmonisan hubungan ibu dengan anak. Bila seorang anak kurang harmonis dengan
ibunya, maka kekurangan harmonis tadi akan berlanjut dengan cucunya, begitu
juga sebaliknya.
Wanita sebagai pimpinan masyarakat mementingkan
perasaan dan pikiran, sehingga wanita lebih sering memberikan keputusan sesuatu
hal dalam kepemimpinannya terhadap laki-laki. Ini terlihat pada Bundo Kandung
yang menjadi raja dalam kaba Cindua Mato. Wanita dalam kaba selalu menyalurkan
maksud dan tujuannya terhadap laki-laki. Hal semacam ini terlihat pada Ganto
Pomai dan Bundo Kandung ketika mewujudkan keinginan menyelamatkan
saudara-saudaranya dan memutuskan untuk berperang dengan Rajo Imbang Jayo
dengan Tiang Bungkuk.
Dalam kehidupan masyarakat lainnya, wanita
lebih banyak berperan dalam keluarga dengan kemampuannya dan dalam masyarakat
pekerjaannya juga adalah pekerjaan yang didapatnya sebagai anggota keluarga.
Wanita lebih banyak mengerjakan pekerjaan yang bersifat kewanitaan atau domestik.
Peran wanita dalam masyarakat yang ditemui dalam kaba ini
diantaranya sebagai pembantu rumah tangga seperti yang dilakukan Kambang
Bandahari. Peran lainnya sebagai dukun beranak seperti yang dilakukan Ameh Manah. Pengelola kebun bunga dan ibu angkat
seperti yang dilakukan oleh Mande Rubiah Randa Kaya dan Mande Rubiah Pakan
Bunga. Pekerjaan wanita lainnya adalah sebagai penjemur hasil pertanian dan
pengembala ternak.
Wanita yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah dilihat dari tingkahlaku wanita
ketika berhadapan dengan konflik; bagaimana ia menghadapi permasalahan,
menyikapi, menyelesaikannya, dan menindaklanjutinya yang pada akhirnya bermuara
pada konsepsi tentang kehidupan. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka perlu
diungkapkan hal-hal yang berhubungan dengan tingkah laku yaitu pandangan hidup,
keindahan, cinta kasih, tanggung jawab, harapan, dan keadilan. Pandangan hidup
wanita dalam kaba ini adalah pandangan hidup yang menerima apa adanya.
Pandangan hidup wanita yang dianggap benar adalah konservatif yaitu mengokohkan
tradisi dan kebiasaan yang ada sebelumnya. Ini jelas terlihat pada setiap
wanita dalam kaba seperti Puti Bungsu yang semula dijodohkan dengan Dang Tuanku
tidak mau lagi dijodohkan dengan Rajo Imbang Jayo. Hal Ini karena sebelumnya
sudah disepakati secara bersama, sehingga Puti Bungsu tidak mau mengkhianati
kesepakatan bersama itu. Begitu juga dengan Gondoriah yang mempunyai pendirian
kokoh terhadap janjinya dengan Anggun nan Tungga. Kekukuhan dirinya juga
terlihat pada Bundo kandung yang tidak mau kawin lagi. Begitu juga dengan Ganto
Pomai. Di sisi lain terlihat juga wanita yang sangat patuh kepada orang tua
sehingga pilihan jodoh pun ditentukan meskipun jodohnya tersebut sudah
mempunyai istri. Ini terlihat pada Puti Reno Bulan yang mau dikawinkan dengan Cindua
Mato.
Bagi wanita dalam kaba, keindahan dapat
diwujudkan secara lahir batin. Secara lahir dapat dilihat dalam bentuk
penampilan, pakaian, dan pandangan, sedangkan secara batin diungkapkan melalui
ucapan dengan susunan atau rangkaian kata-kata yang indah dan disusun dalam
bentuk pantun.
Wanita dalam kaba adalah
wanita yang menempatkan cinta kasih sebagai sesuatu yang agung, luhur dan
sakral. Wanita dalam kaba adalah wanita yang setia pada pilihan hatinya. Di
dalam menyikapi cinta kasihnya ini wanita sangat teguh. Wanita tidak mau
melanggar atau mengkhianati suatu persekutuan karena dianggap suatu kesalahan
besar. Puti Bungsu bersedia lari dibawa Cindua Mato, meskipun dia akan
dinikahkan dengan Rajo Imbang Jayo, untuk mewujudkan cinta kasihnya dengan Dang
Tuanku. Gondoriah bersedia Ian ke gunung ledang demi kesucian cinta kasihnya
terhadap Anggun nan Tungga. Kesucian cinta kasih yang lain terlihat pada
Lenggogini (CM), Puti Bungsu (MD) yang tidak mau menggantikan kedudukan
suaminya dengan lelaki lain. Bagi Puti Reno Bulan (CM) dan Santan Batapi (MD)
cinta kasihnya sebagai istri kedua merupakan cinta kasih yang punya landasan
kesepakatan tersendiri. Bentuk kesepakatan tersendiri yang lainnya juga
dilakukan oleh Santan Batapi (ANT). Wujud cinta kasih antara ibu dan anak
adalah pertanggungjawaban membesarkan dan mendidik anak sampai dewasa dan
berumah tangga. Sebaliknya anak memberikan cinta kasih kepada ibu dengan
mengabdi dan patch terhadap apa yang telah diberikan ibunya. Cinta kasih
sebagai anggota keluarga bagi wanita dalam kaba adalah menjaga jangan hancur,
meskipun membutuhkan pengorbanan yang sangat dalam.
Wanita dalam kaba merupakan wanita yang penuh
tanggung jawab dalam menjalani kehidupannya terhadap berbagai peran. Beban yang
dipikul wanita sesuai dengan peran dan kodratnya dihadapi dengan penuh rasa
tanggung jawab. Wanita dalam kaba adalah wanita yang bertanggung jawab atas
peran dan tugas yang diembannya. Bundo Kandung (CM), Suto Sori (ANT) sesuai
dengan perannya sebagai ibu memperlihatkan tanggung jawabnya membesarkan dan
mendidik anak. Tanggung jawab sebagai istri adalah mengatur dan membina rumah
tangga yang baik serta membesarkan anak. Dalam kaba semua istri telah melakukan
tanggung jawabnya sesuai dengan perannya, meskipun dia berpisah dengan suaminya,
namun anak tetap dibawa. Tanggung jawab sebagai anak adalah mematuhi segala
aturan dan norma yang telah ditentukan orang tua. Patuh akan segala perintah
orang tua merupakan tanggung jawab yang diberikan kepada setiap wanita. Demi
tanggung jawab yang diberikan kepada setiap wanita dalam kaba sebagai anak
mereka rela berkorban.
Pengorbanan itu dapat saja merugikan dirinya.
Seperti Puti Reno Bulan yang rela dimadu oleh Cindua Mato. Tanggung jawab
sebagai kakak adalah melindungi dan mengingatkan adik dari perbuatan yang tidak
baik menurut norma yang ada. Akan tetapi tidak jarang pula adik kurang mematuhi
apa yang diberikan kakaknya seperti yang dilakukan Puti Bungsu (MD).
Tanggung jawab sebagai adik terhadap kakak
adalah menjaga kemaslahatan kakak. Mengambil alih tanggung jawab kakak bila
kakak tidak ada seperti yang dilakukat si kambang terhadap Gondoriah dan Puti
Ranik Jintan terhadap Rajo Imbang Jayo.
Wanita mewujudkan harapannya terhadap anak.
Mulai dari kecil para wanita sudah berharap agar anaknya nanti menjadi manusia
yang berguna bagi keluarga dan masyarakat. Ganto Pomai berharap anaknya menjadi
contoh dan tauladan bagi masyarakat. Begitu juga dengan Bundo kandung terhadap
Dang Tuanku dan Cindua Mato agar menjadi raja yang adil dan bijaksana bila berkuasa.
Untuk para wanita selalu memberikan pengajaran yang terbaik kepada setiap
anaknya demi mewujudkan harapan yang diinginkannya.
Wanita dalam kaba secara tidak langsung
mendapat ketidakadilan dari lelaki. Ini terlihat pada Cindua Mato, Anggun nan
Tungga, dan Malin Deman yang melakukan poligami. Wanita tidak melakukan hal
yang sama seperti yang dilakukan oleh lelaki. Malah mereka mau tidak bersuami
lagi seperti yang dilakukan Bundo Kandung (CM), Lenggogini (CM), Santan Batapi
(ANT), dan Puti Bungsu (MD). Sebagai ibu, wanita menjalankan sikap keadilan
terhadap anak dan anggota keluarga lainnya sesuai dengan hak dan kewajiban
dalam perannya masing-masing. Misalnya dalam memberikan pendidikan, seorang ibu
berlaku adil terhadap semua anak atau dianggap anak. Ini terlihat pada Bundo
Kandung yang mengajari Dang Tuanku, Cindua Mato dan pegawai istana lainnya
bukan anaknya, meskipun Cindua Mato dan pegawai istana lainnya bukan anaknya.
Ada lima hal yang dikemukakan adat istiadat
Minangkabau tentang wanita yaitu (1) Limpapeh rumah nan gadang berarti
wanita sebagai kekuatan dalam suatu keluarga, karena limpapeh artinya
tiang tengah dalam sebuah bangunan; (2) umbun puruak pegangan kunci
dimaksud bahwa wanita adalah pemegang basil ekonomi; (3) pusek jalo kumpulan
tali yaitu pengatur rumah tangga dan merupakan sumber yang sangat
menentukan baik dan jeleknya anggota keluarga; (4) sumarak dalam nagari,
hiasan dalam kampuang maksudnya wanita merupakan kesemarakan negeri dan
perhiasan kampung; (5) nan gadang basah batuah berarti lambang
kebanggaan dan kemuliaan.
Bila dilihat dari konsepsi adat Minangkabau di
atas maka wanita dalam kaba jelas mencerminkan kehidupan, apa yang telah
ditetapkan adat Minangkabau tersebut. Sebagai kekuatan dalam keluarga, wanita
telah berusaha untuk memberikan yang terbaik dalam keluarganya seperti mendidik
anak, sebagai pendamping suami, mengatur rumah tangga, sebagai saudara (kakak
dan adik) dan anggota keluarga lainnya. Oleh karena wanita memegang hasil
ekonomi, maka wanita Minangkabau secara materi tidak berkekurangan, sehingga
bila ditinggalkan oleh suaminya mereka dapat hidup dengan baik, seperti Bundo
Kandung, Lenggogini, Puti Reno Bulan, Puti Ranik Jintan (CM), Ganto Pomai, Ameh
manah, Galinggang Layua, Andami Sutan (ANT), Puti Bungsu dan Sa,ntan Batapi
(MD). Bila mereka tidak mempunyai materi, mereka dapat saja melakukan pekerjaan
yang sesuai dengan kemampuan kewanitaannya seperti menjadi pembantu rumah
tangga, petani, petemak, dukun beranak, penjual bunga, dan lain sebagainya,
seperti Kambang Bandahari (CM), Ameh Manah (ANT), Mandeh Rubiah Randa Kaya dan
Mande Rubiah Pakan Bunga (MD). Sebagai pengatur rumah tangga dan merupakan
sumber yang sangat menentukan baik dan jeleknya anggota telah dilakukan oleh
wanita seperti Bundo Kandung (CM), Ameh Manah dan Galinggang Layua (ANT).
Sebagai semarak negeri dan hiasan kampung dapat dilihat pada Lenggogini, Puti
Bungsu dan Puti Reno Bulan (CM), Gondoriah dan Santan Batapi (ANT). Sebagai
lambang kebanggaan dan kemuliaan dapat dilihat pada Bundo Kandung (CM), Suto
Sori dan Ameh Manah (ANT).
Kepribadian seseorang dan masyarakat menurut adat didasari oleh
budi dan malu. Untuk itu wanita dalam kaba selalu menjaga budi dan malu
tersebut secara baik. Hal ini dapat dilihat pada kemarahan Bundo Kandung yang
malu karena Cindua Mato telah melarikan Puti Bungsu; kemarahan Bundo kandung
terhadap adiknya Rajo Mudo karena malu dengan masyarakat akan hubungan Dang
Tuanku dengan Puti Bungsu yang diputus oleh Rajo Mudo; Puti Ranik Jintan
menasehatinya kakaknya karena malu kepada masyarakat akan penghinaan terhadap
kakaknya Rajo Imbang Jayo yang tidak
jadi kawin dengan Puti Bungsu; Suto Sori marah-marah kepada Anggun nan Tungga
dan Bujang Salamat karena membawa malu pulang; Suto Sori mengizinkan Anggun nan
Tungga mencari para pamannya karena malu atas fitnahan yang diedarkan Nan Kodo
Rajo; Gondoriah tan ke gunung ledang karena malu menerima kembali Anggun nan
Tungga yang sudah kawin; Puti Bungsu kembali ke langit karena dipermalukan oleh
mertua dan saudara-saudaranya; Puti Tangah memarahi Puti Bungsu yang tidak mau
melihat Medan Khiali sakit karena malu dengan
Mande Rubiah Pakan Bunga
yang akan menjadi calon mertua adiknya.
Kesimpulan
Berdasarkan pendeskripsian penelitian wanita
dalam kaba dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Wanita dalam kaba berperan hanya
dalam keluarga yakni sebagai istri, ibu, anak, saudara (kakak dan adik), dan
nenek. Di luar lingkungan keluarga wanita kurang berperan seperti laki-laki.
Kecuali Bundo Kandung yang menjadi raja Pagaruyung.
2. Wanita dalam keluarga terpusat
perannya sebagai ibu, yakni seorang yang mendominasi kepentingan anak-anaknya.
Sebagai ibu wanita bertindak sebagai motivator, pendidik, dan sekaligus hakim
bagi anak-anaknya. Dalam hat prioritas anak, wanita akan menempatkan anak laki-laki
sebagai perpanjangan tangannya terhadap lingkungan luar keluarga, sedangkan
anak wanita sebagai perpanjangan tangan dan pewaris kepentingan dalam keluarga.
3. Secara formal wanita tidak banyak
muncul dalam masyarakat yang lebih luas, namun pengaruhnya tetap besar karena
kepentingan dan kemauannya terdelegasikan melalui anak laki-lakinya.
4. Wanita dalam kaba adalah
wanita-wanita yang berpandangan hidup ideal, penuh tanggung jawab terhadap
diri sendiri dan lingkungannya, penuh nilai cinta kasih yang luhur tanpa pamrih
serta luas dalam menetapkan harapan. Kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan
batin. Menyukai keindahan dan penuh keadilan, meskipun mereka kurang
diperlakukan adil oleh laki-laki.
5. Wanita dalam kaba berhubungan erat
dengan kepribadian individual anggota masyarakat menurut sistem sosial
masyarakat Minangkabau. Bahkan wanita dalam kaba merupakan pengukuhan
kepribadian anggota masyarakat Minangkabau.
Daftar Pustaka:
Armini, 1996.
"Citra Wanita Pekerja dalam Empat Novel". Tesis Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
Asri, Jasnur, 1996. Orientasi
Nilai Budaya Tokoh Wanita dalam Novel Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
Baried, Baroroh,
1984. "Citra Wanita dalam Kebudayaan Indonesia". Makalah Seminar
Nasional Wanita Indonesia:
Fakta dan Citra, Jakarta
23 - 25 Agustus.
Chamamah-Soeratno, Siti, 1994. Sastra dalam Wawasan Pragmatic Tinjauan alas Asas Relevansi di dalam Pembangunan
Bangsa. Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 24 Januari.
Damono, Sapardi Djoko, 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Jassin, H.B., 1984. Sastra Indonesia sebagai Wargo Sastra Dunia. Jakarta. Gramedia.
Junus,
Umar, 1984a. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau: Suatu Problem Sosiologi Sastra. Jakarta: Gramedia.
_______ ,
1984 Sastra Melayu Madan : Fakta dan Interpretasi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia.
Mahkota, Ambas, 1982. Anggun nan Tungga. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Navis, A. A., 1986. Alam
Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Graffitipers.
Nurizzati, 1994. "Kaba Malin Deman Sebuah
Kajian Filologis". Tesis S-2 Universitas Padjadjaran Bandung.
Penghulu, Idrus Hakimy Dt. Rajo, 1994. Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang, dan
Pidato Alua Pasambahan Ada:
Minangkabau. Bandung. Ramaja Rosdakarya.
Ridjal, Fauzi, 1993. Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Sartain, A. Q., 1958. Psychology: Understanding Human Behaviour. McGraw-Hill
Book Company, Inc.
Susanto, Astrid, 1983. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta: Bina Cipta.
Udin, Syamsuddin, 1982. "Kaba Minangkabau Karya Syamsuddin Sutan Rajo
Endah: Tinjauan dari Sudut Sosial Budaya".
Padang:
Penelitian untuk Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa. Jakarta.
Walgito,
Bimo, 1993. Pengantar Psikologi
Umum. Yogyakarta: Andi Offset.
Langganan:
Postingan (Atom)